MENGKAJI MAKNA ULUL ALBAB ( ORANG-ORANG YANG BERAKAL )
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan lanjut dan bumi (seraya berkata), “Ya Robb kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka dipeliharalah kami dari siksa neraka.” (QS.3:190-191)
Suatu ketika, selepas shalat berjamaah di masjid, Rasulullah saw. berkumpul bersama para sahabatnya. Kemudian beliau meminta sahabat Ibnu Mas'ud membacakan ayat-ayat Qur'an. Pada awalnya Ibnu Mas'ud menolak halus karena ia merasa Rasulullah jauh lebih memahami Qur'an daripada dirinya. Namun sesungguhnya Rasulullah mengetahui kelebihan masing-masing dari para sahabatnya. Dan Ibnu Mas'ud ini, meskipun tubuhnya kecil dan sedikit cacat kakinya (pincang jalannya), namun ia memiliki suara yang merdu dan bacaannya bagus. Sehingga ketika Rasulullah memintanya kembali, Ibnu Mas'ud pun menurutinya. Ketika itu Ibnu Mas'ud membaca ayat-ayat Qur'an surah Ali Imran. Dan ketika sampai pada ayat 190-191(seperti di atas), terdengar isak tangis Rasulullah, sehingga Ibnu Mas'ud menghentikan bacaannya. Para sahabat pun merasa heran melihat Rasulullah menangis, sehingga meraka bertanya seperti pertanyaan yang diajukan Bilal kepada Rasulullah ketika ayat tersebut baru saja turun pada kisah asbabun nuzul di atas. Rasulullah bersabda : "Celakalah bagi orang yang membaca ayat ini, namun tidak memahami maknanya".
Diriwayatkan dari 'Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw berkata: "Wahai 'Aisyah saya pada malam ini beribadah kepada Allah SWT". Jawab Aisyah ra: "Sesungguhnya saya senang jika Rasulullah berada di sampingku. Saya senang melayani kemauan dan kehendaknya" Tetapi baiklah! Saya tidak keberatan. Maka bangunlah Rasulullah saw dari tempat tidurnya lalu mengambil air wudu, tidak jauh dari tempatnya itu lalu salat. Di waktu salat beliau menangis sampai-sampai air matanya membasahi kainnya, karena merenungkan ayat Alquran yang dibacanya. Setelah salat beliau duduk memuji-muji Allah dan kembali menangis tersedu-sedu. Kemudian beliau mengangkat kedua belah tangannya berdoa dan menangis lagi dan air matanya membasahi tanah. Setelah Bilal datang untuk azan subuh dan melihat Nabi saw menangis ia bertanya: "Wahai Rasulullah! Mengapakah Rasulullah menangis, padahal Allah telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang terdahulu maupun yang akan datang". Nabi menjawab: "Apakah saya ini bukan seorang hamba yang pantas dan layak bersyukur kepada Allah SWT? Dan bagaimana saya tidak menangis? Pada malam ini Allah SWT telah menurunkan ayat kepadaku. Selanjutnya beliau berkata: "Alangkah rugi dan celakanya orang-orang yang membaca ini dan tidak memikir dan merenungkan kandungan artinya".
Imam Auza'i mengomentari jawaban Rasulullah tersebut, bahwa ayat tersebut tidak sekedar dibaca, tetapi harus dipahami isinya dan direnungkan maknanya. Bagi orang yang memiliki pemikiran luas dan mendalam atau berinteligensi tinggi, maka seluruh apa yang ada di langit dan di bumi yang tercipta itu merupakan kenyataan ontologis, sebagai ayat kauniyyah Allah untuk dipelajari. Demikian pula tentang pergantian waktu malam dan siang memberikan makna tertentu, paling tidak dapat menimbulkan pertanyaan yang semakin mendalam, kemudian menyimpulkan secara sederhana bahwa ada fenomena alam yang penuh keteraturan dan keajegan, sebagai suatu hukum alam yang berlaku atau sunnatullah. Dan kunci tabir sunnatullah tersebut tersirat dalam Qur'an bagi orang yang memperhatikan dan memahaminya.
Banyak di antara kaum muslimin yang pandai membaca Qur'an, bahkan mengerti artinya. Namun umumnya mereka tidak pandai membaca ayat-ayat kauniyyah yang ada di alam ini, sehingga mereka tidak menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Atau sebaliknya, banyak kaum muslimin yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi tetapi jauh dari Qur'an atau tidak mau membaca Qur'an. Sehingga kemudian terjadi dikotomi antara petunjuk Qur'an dan ilmu pengetahuan, bahkan dalam beberapa hal saling bertentangan. Oleh karenanya, Allah akan mengangkat derajat seorang muslim yang mampu menyatukan petunjuk Qur'an dan ilmu pengetahuan sebagai satu kebenaran, dimana dalam beberapa firmanNya orang tersebut diberi predikat sebagai ulul albab (QS Ali Imran 190-191 dan Ar Ra'd 19-22)
Istilah Ulul Albab diambil dari bahasa Al-Quran sehingga untuk memahaminya diperlukan kajian terhadap nash-nash yang berbicara tentang Ulul Albab, karena itu agar diperoleh pemahaman yang utuh mengenai istilah tersebut, maka diperlukaan kajian mendalam terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan Ulul Albab, baik dari segi lughawi (bahasa) maupun dari kandungan makna yang dibangun dari pemahaman terhadap pesan, kesan, dan keserasian (munasabah) antara ayat yang satu dengan ayat-ayat sebelumnya.
Menurut Prof . Dr. M. Qurash Shihab (1993) seorang ahli tafsir di Indonesia menjelaskan bahwa kata Albab adalah bentuk jamak dari kata lubb yang berarti saripati sesuatu. Kacang misalnya, memiliki kulit yang menutupi isinya, maka isi kacang itulah yang disebut dengan lubb. Dengan demikian, Ulul Albab adalah orang-orang yang memiliki akal yang murni, yang tidak diselubungi oleh kulit atau kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam berfikir sebagaimana terungkap dalam Al-Quran Surat Ali Imron ayat 190-191. Dalam kaitannya dengan Al-Quran surat Ali Imron ayat diatas, ia menjelaskan bahwa orang yang berdzikir dan berfikir (secara murni) atau merenungkan tentang fenomena alam raya, maka akan dapat sampai pada bukti yang sangat nyata tentang keesaan dan kekuasaan Allah.
Muhaimin (2003) yang berdasarkan hasil kajian terhadap istilah “Ulul Albab”, sebagaimana terkandung dalam 16 ayat al-Quran, ditemukan adanya 16 ciri khusus yang selanjutnya diperas ke dalam 5 (lima) ciri utama, yaitu: (1) Selalu sadar akan kehadiran Tuhan disertai dengan kemampuan menggunakan potensi kalbu (dzikir), dan akal (pikir) sehingga sampai pada keyakinan adanya keagungan Allah swt dalam segala ciptaannya; (2) Tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah swt, mampu membedakan dan memilih antara yang baik dan yang jelek; (3) Mementingkan kualitas hidup baik dalam keyakinan, ucapan maupun perbuatan, sabar dan tahan uji; (4) Bersungguh-sungguh dan kritis dalam menggali ilmu pengetahuan; (5) Bersedia menyampaikan ilmunya kepada masyarakat dan terpanggil hatinya untuk ikut memecahkan problem yang dihadapi masyarakat.
Dalam ayat 191, diterangkan karakteristik Ulil Albab, yaitu selalu melakukan aktivitas dzikir dan fikir sebagai metode memahami alam, baik yang ghaib maupun yang nyata.
Dzikir, secara bahasa berasal dari kata dzakara , tadzakkara, yang artinya menyebut, menjaga, mengingat-ingat. Secara istilah dzikir artinya tidak pernah melepaskan Allah dari ingatannya ketika beraktifitas. Baik ketika duduk, berdiri, maupun berbaring. Ketiga hal itu mewakili aktifitas manusia dalam hidupnya. Jadi,dzikir merupakan aktivitas yang harus selalu dilakukan dalam kehidupan. Dzikir dapat dilkukan dengan hati,lisan, maupun perbuatan. Dzikir dengan hati artinya kalbu manusia harus selalu bertaubat kepada Allah, disebabkan adanya cinta, takut, dan harap kepada-Nya yang berhimpun di hati (Qolbudz Dzakir). Dari sini tumbuh keimanan yang kokoh, kuat dan mengakar di hati. Dzikir dengan lisan berarti menyebut nama Allah dengan lisan. Misalnya saat mendapatkan nikmat mengucapkan hamdalah. Ketika memulai suatu pekerjaan mengucapkan basmalah. Ketika takjub mengucapkan tasbih. Dzikir dengan perbuatan berarti memfungsikan seluruh anggota badan dalam kegiatan yang sesuai dengan aturan Allah .
Fikir, secara bahasa adalah fakara, tafakkara yang artinya memikirkan, mengingatkan, teringat. Dalam hal ini berpikir berarti memikirkan proses kejadian alam semesta dan berbagai fenomena yang ada di dalamnya sehingga mendapatkan manfaat daripadanya dan teringat atau mengingatkan kita kepada sang Pencipta alam, Allah SWT
Keberhasilan hidup bagi penyandang Ulul Albab bukan terletak pada jumlah kekayaan, kekuasaan, sahabat, dan sanjungan yang diperoleh, melainkan terletak pada keselamatan dan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Penyandang Ulul Albab selalu memilih jenis dan cara kerja yang shaleh artinya mereka bekerja dengan cara yang benar, lurus, ikhlas, dan profesional.
Ulul Albab meyakini adanya kehidupan jasmani dan ruhani, dunia dan akhirat. Kedua dimensi kehidupan tersebut harus memperoleh perhatian yang seimbang dan tidak dibenarkan hanya memprioritaskan salah satunya. Keberuntungan dunia harus berdampak positif pada kehidupan akhirat, demikian juga sebaliknya. Hal ini didasari ajaran Rasulullah yang mengharuskan umat Islam untuk mencari kehidupan dunia seolah-olah akan hidup selamanya, dan mencari kehidupan akhirat seolah-olah kematian sudah di depan mata. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pendidikan harus mampu mengembangkan dzikir, fikr, dan amal shaleh. Menurut Suprayogo (2004) ukuran keberhasilan dari pendidikan Ulul Albab dianggap tercapai ketika pribadi yang terbentuk dalam proses pendidikan memiliki kualitas sebagai berikut: 1) Mempunyai ilmu pengetahuan yang luas; 2) Mempunyai penglihatan yanag tajam; 3) Bercorak cerdas; 4) Berhati lembut; 5) Bersemangat juang tinggi karena Allah sebagai pengejawantahan amal shaleh.
Dari uraian tentang ulul albab diatas, menurut penulis bentuk operasional suatu alat ukur adalah konsep Ulul Albab yang ditandai adanya empat kekuatan yaitu:
- Kedalaman spiritual yaitu kemampuan individu dalam memaknai kehidupan dan berperilaku yang didasari dengan adanya semangat spiritual. Kemampuan ini dicirikan dengan adanya kesadaran terhadap kehadiran Allah, kemampuan untuk mengagumi ciptaan Allah, rasa takut hanya oleh Allah.
- Keagungan akhlak yaitu kemampuan individu untuk berperilaku mulia sesuai dengan ajaran Islam sehingga perilaku tersebut menjadi ciri dari kepribadiannya. Kemampuan ini dicirikan dengan adanya kemampuan untuk meningkatkan kualitas hidup baik berupa keyakinan, lisan, maupun perbuatan, dan kemampuan untuk bersabar dalam menghadapi cobaan, dan kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk.
- Keluasan ilmu yaitu kualitas seseorang yang dicirikan dengan kepintaran dan kecerdikan dalam menyelesaikan masalah sesuai dengan bidang keahliannya. Kemampuan ini dicirikan dengan sikap bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu, kemampuan untuk selalu menggunakan potensi akal fikiran, dan kemampuan untuk selalu menggunakan potensi kalbu (perasaan).
- Kematangan profesional yaitu kemampuan seseorang untuk bekerja dan berperilaku sebagai seorang profesional dibidangnya. Kemampuan ini dicirikan dengan adanya kesediaan untuk menyampaikan ilmu, kesediaan berperan serta dalam memecahkan masalah umat, dan kebiasaan untuk bertindak sesuai dengan ilmu.
SIMPULAN URAIAN DIATAS
A. Maknanya
1. pertama, orang yang mempunyai pemikiran (mind) yang luas atau mendalam.
2. Kedua, orang yang mempunyai perasaan (heart) yang peka, sensitif atau yang halus perasaannya.
3. Ketiga, orang yang mempunyai daya pikir (intellect) yang tajam atau kuat.
4. Kempat orang yang mempunyai pandangan alam atau wawasan (insight) yang luas, mendalam atau menukik.
5. Kelima, orang memiliki pengertian (understanding) yang akaurat, tepat atau luas.
6. Dan keenam, orang yang memiliki kebijakan (wisdom), yakni mendekati kebenaran, dengan pertimbangan-pertimbangan yang terbuka dan adil.
B. Keseimpulan dari bahasan diatas adalah
1. Dari berbagai arti ulul albab di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa ulul albab yaitu orang yang berakal, memilki pikiran, perasaan dan hati. Namun bukan hanya sekedar memilikinya akan tetapi mau menggunakannya secara maksimal sehingga ia mampu mendapatkan ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas serta pandangan yang tajam terhadap sesuatu. Penggunaan akal, pikiran dan perasaan ini tentu saja dengan cara yang benar dan dengan tujuan yang baik. Karena banyak orang yang memiliki komponen-komponen ini, namun tidak mau menggunakannya secara maksimal. Begitu juga banyak orang yang menggunakannya namun tidak dengan cara yang benar dan bukan untuk kebaikan, seperti orang yang menggunakan akalnya hanya untuk akal-akalan mencari keselamatan di dunia.
2. Ulul albab adalah orang-orang yang senantiasa menyeimbangkan dzikir dan pikir, mereka pandai membaca dan memahami maknanya dari ayat-ayat Allah yang tertulis (qauliyyah) berupa Qur'an, dan juga pandai membaca, memikirkan dan memahami ayat-ayat yang tidak terulis (kauniyyah) berupa alam semesta seisinya dan berbagai fenomena kejadian di dalamnya. Mereka senantiasa mengingat Allah dalam keadaan yang bagaimana pun, disamping selalu menggunakan akalnya untuk mengambil hikmah dari berbagai kejadian di alam ini. Dalam firman Allah yang lain orang-orang seperti ini disebut juga sebagai ulul abshar (orang yang menggunakan pengamatannya), seperti pada ayat berikut ini : Allah membuat malam dan siang silih berganti. Sesungguhnya itu semua merupakan pelajaran bagi ulul abshar (QS An Nuur 44). Kita saat ini butuh orang-orang yang berpredikat ulul albab atau ulul abshar, agar Islam kembali memancarkan cahayanya dengan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, agar umat Islam bangkit dari ketertinggalannya dari umat lain, dan kembali pada jaman kejayaannya seperti yang terjadi di masa lalu. Mudah-mudahan kita, atau ada di antara kita yang berpredikat ulul albab atau ulul abshar. Semoga.
3. Dengan dzikir manusia akan memahami secara jelas petunjuk ilahiyah yang tersirat maupun yang tersurat dalam al-Qur’an maupun as-sunnah sebagai minhajul hayah (pedoman hidup). Dengan fikir, manusia mampu menggali berbagai potensi yang terhampar dan terkandung pada alam semesta. Aktivitas dzikir dan fikir tersebut harus dilakukan secara seimbang dan sinergis (saling berkaitan dan mengisi).
Sebab jika hanya melakukan aktivitas fikir, hidup manusia akan tenggelam dalam kesesatan.
Jika hanya melakukan aktivitas dzikir, manusia akan terjerumus dalam hidup jumud (tidak berkembang, statis). Sedangkan, jika melakukan aktivitas dzikir dan fikir tetapi masing-masing terpisah, dikhawatirkan manusia akan menjadi sekuler.
WALLAHUALAM BISAWAB.
Sumber Kumara Tsabit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa komentar dan pendapat anda? Adakah saran untuk admin?