Secara ringkas, peran ilmu pengetahuan telah dikemukakan oleh imam AL Ghazali
dengan ungkapan yang sangat indah;
“Barang siapa menghendaki dunia wajib baginya berilmu, barang siapa menghendaki
akhirat wajib baginya berilmu, dan barang siapa menhendaki keduanya wajib
baginya berilmu.”
Berikut ini akan kami uraikan tiga peran ilmu pengetahuan menurut imam Al
Ghazali di atas.
? Sarana Untuk Meraih Sukses Di Dunia
Pada paruh pertama millennium kedua, bangsa Eropa masih menganggap bahwa
kebersihan adalah pekerjaan setan, pengobatan masih berada di tangan para
dukun, Abad inilah yang mereka sebut sebagai abad pertengahan, yang
melambangkan masa-masa keterbelakangan dan kegelapan mereka. Pada saat yang
sama, kaum muslimin telah mampu menguasai dunia. Peradaban mereka menjadi soko
guru peradaban dunia.
Dunia mengenal nama-nama besar ilmuwan, ahli filsafat, sastrawan, para tokoh,
dan pengusaha muslim. Ketenaran mereka menggaung di seluruh penjuru dunia.
Mereka meninggalkan pengaruh yang sangat membekas dan berarti dalam berbagai
bidang seperti sains, filsafat, sastra, dan politik.
Dalam bidang sains, dikenal nama Bairuni, Khawarizmi, Ibnu Haitsam, Abu Bakar
Ar Razi, dan Zahrawi. Dalam disiplin ilmu filsafat, dunia mengenal nama-nama
besar seperti Ibnu Sina (Avesina), Ibnu Rusyd (Averos), dan Ibnu Thufail. Dalam
bidang sastra, kita mengenal nama seperti Mutanabi, Abu A’la Al Ma’ry, Abu
Hayan At Tauhidy, dan Jalaluddin Rumy. Dalam bidang politik dan pemerintahan,
dikenal nama semisal Nuruddin, Mahmud As Syahid, dan Shalahuddin Al Ayubi. Dan
di samping mereka, masih terdapat ribuan bahkan puluhan ribu ilmuwan yang
kepandaian dan kecerdasannya setingkat di bawah mereka. Begitulah potret
keemasan ummat Islam pada paruh pertama millennium kedua Masehi.
Pada paruh kedua millennium kedua, kendali dunia bergeser ke pihak Barat. Ia
mulai bangkit dari kegelapannya menuju cahaya, dari stagnasi menuju pergerakan,
dari kelelapan menju kesadaran, dari kejumudan menuju pembebasan, dari puritanisme
menuju progresivitas.
Mengapa mereka bisa berubah? Orang yang jujur tidak akan sanggup memungkiri
bahwa sesungguhnya Barat bisa maju dan berkembang karena berinteraksi dengan
kaum muslimin, baik pada masa perang maupun damai, pada peperangan salib maupun
ketika kaum muslimin berada di Andalusia dan Sisilia, serta daerah-daerah lain
yang menjadi jembatan komunikasi antara kaum muslimin dan orang-orang Barat.
Orang-orang Barat belajar di Universitas-Universitas Islam, dari para
cendekiawannya, dan dari buku-buku karangan kaum muslimin. Mereka juga belajar
metode eksperimental induktif dari peradaban kaum Muslimin. Sejak itu mulailah
mereka bangkit sementara kaum muslimin justru mulai tergelincir, mereka bangun
dari tidurnya sedangkan kita justru terlelap dalam tidur panjang, mereka
memandang ke depan sementara kita malah menoleh ke belakang.
Saat ini, di mana Barat dan di mana Kaum Muslimin?
Negara-negara Barat telah berbicara tentang berbagai revolusi besar yang hendak
dijalankan; revolusi teknologi, revolusi biologi (geneologi, cloning, penemuan
peta gen manusia dan sejenisnya), revolusi elektronik (komputer, internet,
cyber space, dll), revolusi ruang angkasa (penaklukan bulan, percobaan
penjelajahan ke planet-planet, dll), revolusi komunikasi dan informasi, dan
seterusnya. Di mana posisi Kaum Muslimin di tengah revolusi negara-negara Barat
ini?
Kaum Muslimin mampu membeli barang-barang paling mewah dan paling mahal dari
produk sains dan teknologi. Kaum Muslimin mampu membeli mobil mewah seperti mecedes
benz atau rolls Royce dengan tingkat harga yang tiada bandingnya, akan tetapi
kaum muslimin belum mampu membuat satupun komponen barang mewah itu.
Mereka menjual barang-barang produksinya sesuai keinginan mereka bukan
keinginan kaum muslimin. Mereka menjual barang-barang konsumsi kepada kaum
muslimin dan untuk itu mereka mendapatkan kekayaan yang melimpah ruah dari kaum
muslimin. Namun untuk teknologi nuklir atau produk kecanggihan teknologi
lainnya mereka tidak menjualnya kepada kaum muslimin namun menjualnya kepada
Israel.
Inilah kekalahan penguasaan dunia kaum muslimin terhadap orang-orang barat.
Sampai kapan ini akan berlangsung? Sampai tidak ada di antara kaum muslimin
yang berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan orang-orang barat
untuk kita, untuk mempersembahkan kepada kita ilmu pengetahuan dan teknologi
agar kita bisa berkonsentrasi dalam menyembah Allah”, dan kemudian kaum
muslimin bergairah kembali untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Kami
yakin, kaum muslimin tidak akan mengalami kesulitan untuk menguasainya. Sebab,
ilmu pengetahuan yang dikatakan modern tersebut, sebenarnya merupakan ilmu
pengetahuan kuno yang pernah dikuasai dan dikembangkan ummat Islam di era
keemasan peradaban Islam.
? Sarana Untuk Meraih Sukses Di Akhirat
Persepsi yang benar merupakan pendahuluan yang penting bagi visi yang benar dan
amal yang lurus. Oleh karena itu bagi ummat Islam ilmu mendahului amal bahkan
ilmu adalah petunjuk iman dan jalan aqidah yang benar. Imam gazali berpendapat,
bahwa mukadimah agama dan berakhlaq dengan akhlaq para nabi dan orang-orang
yang shidiq tidak akan tercapai kecuali diramu dengan tiga dimensi yang
tersusun rapi, yaitu: ilmu, perilaku, dan amal. Ilmu akan mewariskan perilaku,
dan perilaku akan mendorong amal. Para psikolog menamakannya persepsi, emosi
dan kecenderungan.
Di dalam AL Qur’an, urutan tersebut sangat jelas. Allah berfirman;
“Dan orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasannya Al Qur’an itulah
yang haq dari Tuhanmu, lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya”
(Al Hajj:54)
Huruf ‘athaf dalam ayat tersebut adalah “fa:. Itu mengandung arti tertib dan
berurutan; setelah ilmu adalah iman, dan setelah iman adalah tunduk. Oleh
karena itu, apabila mereka tahu (ilmu) pasti beriman, dan apabila beriman pasti
tunduk.
Dalam ayat yang lain Allh berfirman:
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah dan
mohonkanlah ampunan bagi dosamu dan bagi dosa orang-orang mu’min laki-laki dan
perempuan” (Muhammad:19)
Perintah “tahu” (i’lam) didahulukan daripada perintah “’amal”, yaitu memohon
ampun. Pensyarah berkata: “Allah menghendaki bahwa ilmu itu merupakan syarat
bagi syahnya ucapan dan ‘amal. Ucapan dan ‘amal tidak akan diangap kecuali jika
disertai dengan ilmu terlebih dahulu. Sebab, ilmu itu meluruskan niat, dan niat
akan meluruskan amal.
Musibah yang paling berbahaya yang menimpa manusia adalah kekeliruan yang
disebabkan oleh karena ketiadaan/kekurangan ‘ilmu. Sehingga, yang bathil
dipandang haq dan yang haq dipandang bathil, yang ma’ruf dianggap munkar dan
yang munkar dianggap ma’ruf, yang sunnah itu bid’ah dan yang bid’ah itu sunnah.
Manusia terbuai dengan amalnya yang buruk, dan dianggapnya sebagai kabaikan.
Allah SWT berfirman:
“Katakanlah: Sukakah kalian Kami beri tahu kepadamu tentang orang-orang yang
paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya
dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104).
Kekeliruan pemahaman ini tidak saja merugikan diri sendiri tetapi sangat
mungkin merugikan kaum muslimin bahkan manusia secara keseluruhan. Karena
kekeliruan ini bisa saja seseorang menganggap dirinya pahlawan bagi Islam,
padahal sesungguhnya dia adalah penghancur Islam. Bisa jadi seseorang
menganggap dirinya pembaharu, padahal sesungguhnya dia adalah pembuat
Oleh karena itu, diantara do’a yang ma’tsur adalah:
“Ya Allah…Tunjukkanlah yang haq itu adalah haq dan berilah kami kekuatan untuk
mengikutinya. Tunjukkanlah yang bathil itu bathil dan berilah kami kekuatan
untuk menjauhinya”.
Di dalam sebagian hadits, ada peringatan terhadap suatu zaman yang pada waktu
itu yang ma’ruf dijadikan munkar dan yang munkar dijadikan ma’ruf. Itu semua
terjadi karena sedikitnya ilmu.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata: “ Seseorang yang ber’amal tanpa dasar
ilmu, akan lebih banyak menghasilkan kerusakan dari pada kemaslahatannya”. Imam
Hasan al Basri berkata: “Seseorang yang beramal tanpa ilmu, bagaikan orang
berjalan tanpa arah dan tujuan. Seseorang beramal tanpa ilmu, yang dirusak
lebih banyak daripada yang diperbaikinya. Maka, tuntutlah ilmu dengan cara yang
tidak merusak ibadah. Dan tuntutlah ibadah dengan cara yang tidak merusak ilmu.
Sebab ada suatu kaum yang menuntut ibadah tetapi meninggalkan ilmu, sehingga
mereka keluar membawa pedang membantai ummat Muhammad saw. Seandainya mereka
menuntut ilmu, niscaya mereka tidak akan melakukan tindakan tersebut.”
Yang dimaksud dengan mereka itu adalah kaum Khawarij yang menghalalkan darah
dan harta benda ummat, mengkafirkan manusia secara keseluruhan, meskipun mereka
itu adalah ahli puasa, shalat tahajud, membaca Al Qur’an. Kondisi mereka
seperti yang digambarkan dalam sebuah hadits berikut:
“Diantara kalian ada yang membutuhkan shalat kalian kepada shalat mereka,
puasanya kepada puasa mereka, dan bacaannya kepada bacaan mereka. Tetapi
bencana mereka, bahwa mereka membaca Al Qur’an tidak melebihi kerongkongan
mereka. Artinya: bahwa mereka tidak mendalami pemahaman Al Qur’an, sehingga
sampai ke titik bahwa mereka membunuh orang-orang Islam dan membiarkan
penyembah-penyembah berhala.”
Agar tidak tertipu, kaum muslimin harus berilmu sebelum ber’amal. Sebab,
sebagaimana dikatakan oleh Mu’adz RA: “Ilmu adalah imamnya ‘amal, dan ‘amal
adalah pengikut ilmu”. Dengan demikian, ilmu syar’i adalah merupakan kewajiban
sekaligus kebutuhan bagi muslim. Setiap muslim membutuhkan ilmu (ilmu syar’i)
karena:
? Ilmu, melalui sebuah prinsip dan patokan yang dibuatnya untuk meluruskan
pemahaman dan penggunaan dalil, merupakan satu-satunya sarana untuk membedakan
antara keyakinan yang haq dan keyakinan yang bathil, antara fikrah yang benar
dan yang keliru.
? Ilmu merupakan satu-satunya sarana untuk membedakan antara yang disyari’atkan
dengan yang tidak disyari’atkan. Yakni membedakan antara yang halal dan yang
haram dalam segala hal dan tingkah laku, antara yang sunah dan yang bid’ah
dalam mendekatkan diri kepada Allah dan ibadah, antara yang baik dan yang buruk
dalam akhlaq dan perilaku. Ilmulah yang membuat batasan-batasan untuk semua
itu.
? Ilmu merupakan satu-satunya sarana untuk memberikan tingkatan-tingkatan amal
dan kewajiban sayari’at secara benar. Misalnya, menyangkut hal-hal yang
diperintahkan. Ilmu mengatakan; ini sunnah, ini fardhu, ini fardhu ‘ain atau
fardhu kifayah. Menyangkut hal-hal yang dilarang ilmu mengatakan; ini makruh,
sybhat, atau haram. Mengenai hal yang haram, ilmu memberikan petunjuk; ini dosa
besar, dosa kecil, atau dosa paling besar.
? Ilmu juga merupakan satu-satunya sarana untuk menghukum secara adil
pribadi-pribadi dan jama’ah, mengevaluasi sikap dan kasus secara benar yang
jauh dari kedzaliman dan hawa nafsu, dan terhindar pula dari ifrath
(berlebihan) dan tafrith (berkurang).
? Sarana Untuk Meraih Sukses Di Dunia Dan Akhirat
Dalam bukunya yang berjudul Membentuk Kemanusiaan, Bripolt berkata: “Ilmu
pengetahuan adalah faktor terbesar yang memajukan budaya Arab ke dunia modern
ini. Tidak ada satu aspek pun di antara aspek-aspek kemajuan Eropa, kecuali di
dalamnya ada pengaruh kebudayaan Islam. Ketahuilah, bahwa pengaruh paling besar
dan paling penting adalah adanya kekuatan yang menyatukan faktor abadi di dunia
modern ini. Sumber tertinggi yang menyebabkan kemenangannya adalah ilmu fisika
dan metode ilmiah. Fakta ini menunjukkan bahwa Islam adalah diin pembinaan
kebudayaan.
Pengakuan ini menjadi bukti bahwa kaum muslimin pernah mencapai puncak kejayaan
dalam mengelola dunia, yang hasilnya telah dirasakan oleh seluruh manusia,
khususnya bangsa Eropa pada saat ini. Pertanyaannya kemudian adalah: “Siapakah
di antara kaum muslimin yang mempunyai andil besar dalam mengukir prestasi yang
sedemikian gemilang itu? Jawabannya, mereka adalah para ulama kita, yaitu
pribadi-pribadi yang sangat mendalam pemahamannya tentang Islam.
Pribadi-pribadi inilah –yang berkumpul dalam dirinya penguasaan ilmu duniawi
dan ilmu Islam- yang telah berhasil memajukan dunia dengan ilmu yang
dimilikinya, dan dunia berhutang budi kepada mereka. Pribadi-pribadi seperti
inilah –yang menguasai ilmu duniawi dan Islam- yang layak mendapatkan predikat
sebagai orang yang sukses di dunia dan di akhirat
Bagaimana dengan kaum muslimin dewasa ini? Jawaban paling jujur yang bisa kita
berikan terhadap pertanyaan ini adalah bahwa prestasi kaum muslimin baik dalam
bidang agama (Islam) maupun dunia jauh di bawah generasi pendahulunya. Bahkan
khusus untuk prestasi dunia, kaum muslimin dewasa ini jauh tertinggal di
belakang ummat lainnya, khususnya Barat. Mengapa demikian?
Dr. Yusuf Qordhowi, dalam bukunya yang berjudul Humuumul Muslimil Mu’ashir
(judul terjemahan; Agenda Permasalahan Ummat), memberikan penjelasan tentang
penyebab keterbelakangan ummat Islam yang sangat layak mendapat perhatian kita.
“Sebenarnya”, tulis Beliau, “Rahasia keterbelakangan ummat Islam – jika kita
hendak simpulkan – terletak pada pemahaman ummat yang salah terhadap konsep
Islam. Mereka hanya mengambil warisan yang jelek yang terdapat pada zaman
kemunduran ummat Islam serta mengambil apa yang terjelek dari Barat”.
Islam tidak memberikan standar mas kawin yang tinggi, dan dan tidak pula
menganjurkan untuk berfoya-foya dalam menyelengarakan walimatul ursy, Islam
sama sekali tidak pernah mempersulit ummatnya untuk membentuk keluarga yang
sakinah. Namun sekarang, sebagian besar ummat Islam telah mempersulit diri
dalam urusan pernikahan ini. Ummat Islam telah mempersulit jalan yang halal dan
mempermudah jalan yang haram.
Ketika Islam mensyari’atkan poligami maka sebenarnya Islam tidak
mensyariatkannya sesuai yang dipraktikan oleh ummatnya dewasa ini. Ummat Islam
melakukan poligami dengan dua, tiga, atau empat istri tanpa didasarkan atas
motivasi yang disyari’atkan Islam. Lebih dari itu, poligami dilakukan oleh
ummat Islam tanpa disertai kemampuan pelakunya untuk memberikan nafkah terhadap
istri-istrinya.
Itulah sebagian kecil bukti bahwa ummat Islam mengambil yang jelek dari warisan
abad kemunduran Islam.
Sementara dalam hubungannya dengan Barat, kita mengetahui bahwa Barat memiliki
hal-hal yang baik dan yang buruk. Mereka menguasai sains dan teknologi serta
system manajemen yang handal. Kelebihan-kelebihan itu tidak kita ambil, padahal
sebagaimana dikemukakan oleh orang-orang yang jujur dikalangan mereka, itu
semua mereka ambil dari Islam. Selama ini, yang diambil oleh ummat Islam dari
Barat adalah kulit-kulit kebudayaan mereka yang berupa riba, hal-hal yang tabu,
dan undang-undang mereka dengan segala kelemahannya, sampai-sampai kita lupa
bahwa kita sendiri memiliki undang-undang yang jauh lebih sempurna.
Kondisi seperti di atas berlangsung secara terus-menerus dalam waktu yang sudah
sangat lama. Sehingga dapat dikatakan bahwa ummat Islam sekarang, dalam
ungkapan yang cukup berlebihan, merupakan perpaduan dari dua keburukan, yaitu
keburukan warisan abad kemunduran Islam dan keburukan Barat. Maka pantaslah
kalau ummat Islam berada pada barisan yang paling belakang.
System pendidikan yang diterapkan di negara-nagara yang berpenduduk mayoritas
Islam mempunyai andil untuk melanggengkan keterbelakangan ummat Islam. Di
sebagian besar negara Islam, pengajaran terbagi menjadi dua, yaitu pengajaran
agama dan sekuler. Garis demarkasi antara pengajaran agama dan pengajaran
ilmu-ilmu lainnya (ilmu alam dan ilmu-ilmu social/humaniora) terlihat sangat
tegas. Akibatnya, yang belajar ilmu agama kurang bahkan tidak memahami
ilmu-ilmu lainnya demikian pula sebaliknya. Maka, tidaklah mengherankan jika
system pengajaran itu melahirkan sosok agamawan yang tidak compatible dengan
zamannya dan menghasilkan sosok ilmuwan yang sangat awam bahkan sama sekali
tidak memehami ajaran agamanya. Kedua sosok tersebut sama-sama merugikan
perkembangan Islam dan kaum muslimin.
Sosok yang pertama merugikan perkembangan Islam karena sosok tersebut
kurang/tidak mampu membahasakan Islam sesuai dengan bahasa zamannya. Akibatnya,
gambaran yang paling mudah muncul dalam benak generasi baru adalah bahwa Islam
tidak mampu menghadapai perkembangan zaman yang semakin pesat. Padahal
sesungguhnya bukan Islmanya yang tidak mampu menjawab tantangan zaman melainkan
para da’inya.
Sosok yang kedua juga sangat merugikan. Dengan kepakarannya terhadap ilmu ilmu
–misalnya ilmu social/humaniora- Barat dan dan ketidakfahamannya tentang Islam,
seringkali mereka mmembuat statement yang sangat tidak benar dan sangat
merugikan ummat Islam. Misalnya, Islam tidak mengenal politik, Islam tidak
mengatur tata negara, Islam itu suci maka jangan dikotori dengan politik dan
ungkapan-ungkapan lain yang senada dengan itu.
Tampilnya dua sosok –sosok agamawan yang tidak compatible dengan zaman dan
sosok ilmuwan yang tidak memahami ajaran agamanya- di pentas kehidupan secara
bersama-sama akan sangat membingungkan kaum muslimin secara keseluruhan.
Dua-duanya telah diberi predikat sebagai tokoh atau bahkan pakar namun keduanya
mempunyai pandangan yang sangat berbeda tentang Islam dan kehidupan. Perbedaan
itu tidak bersifat sementara namun perbedaan itu bersifat permanen.
Tarik-menarik senantiasa terjadi, pada suatu kesempatan sosok yang pertama
menang sehingga berperan dominan dan pada kesempatan lain sosok kedua menang
dan berperan dominan. Akibatnya, kaum muslimin mengalami stagnasi pemikiran dan
disintegrasi yang berdampak pada terjadinya musibah intelektual, ekonomi,
cultural, social dan pendidikan.
Perkembangan yang sangat merugikan bagi arah pemikiran Islam ini, secara pelan
disadari –dengan berpijak pada Al Qur’an dan Sunnah Nabi saw- oleh para tokoh
pergerakan Islam diberbagai negeri. Berangkat dari kondisi tersebut, mereka
melakukan tajdid dan melakukan gerakan untuk mengentaskan kaum muslimin dari
keterbelakangannya. Semoga Allah memberkahi usaha mereka dan mengabulkan
permintaan mereka.
Kedudukan Ilmu
Ilmu memiliki kedudukan yang sangat tinggi dihadapan Al Akhaliq maupun
makhluqnya (khususnya manusia). Tingginya kedudukan ilmu di hadapan Al Khaliq
dapat dilihat dari hal-hal berikut:
? Pemuliaan dan pengistimewaan yang diberikan oleh Allah bagi hamba-Nya yang
berilmu. Dalil-dalilnya adalah:
? “…..Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (AL Mujadilah: 11).
? Kelebihan seorang ‘alim (ilmuwan) terhadap seorang abid (ahli ibadah) abarat
bulan purnama terhadapseluruh bintang (HR Abu Dawud)
? Duduk bersama para ‘ulama adalah ‘ibadah (HR. addailami)
? Adanya janji dari Allah berupa pahala yang sangat besar bagi usaha-usaha
untuk mendapatkan ilmu.
? Barang siapa merintis jalan mencari ilmu maka Allah akan memudahkan baginya
jalan ke surga (HR Muslim)
? Wahai Abu Dzar, kamu pergi mengajarkan ayat dari kitabullah lebih baik bagimu
daripada shalat (sunnah) seratus rekaat, dan pergi mengajarkan satu bab ilmu
pengetahuan baik dilaksanakan atau tidak, itu lebih baik dari pada shalat
seribu raka’at. (HR. Ibnu Majah)
? Adanya perintah yang memberikan kewajiban kepada kaum muslimin untuk menuntut
ilmu.
? Menuntut ilmu wajib atas tiap muslim (baik muslimin maupun muslimah (HR. Ibnu
Majah).
? Tuntutlah ilmu, sesungguhnya menuntut ilmu adalah pendekatan diri kepada
Allah Azza wajalla, dan mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya
adalah shadaqah. Sesungguhnya ilmu pengetahuan menempatkan orangnya dalam
kedudukan terhormat dan mulia (tinggi). Ilmu pengetahuan adalah keindahan bagi
ahlinya di dunia dan akhirat. (HR Ar-rabii’)
Sedangkan tingginya posisi ilmu di hadapan makhluq (manusia) dapat dilihat dari
penghargaan yang diberikan oleh manusia kepada para ilmuwan. Berikut ini kami
akan kami paparkan pengakuan (penghargaan) manusia kepada prestasi kaum
muslimin. Pengakuan ini menyiratkan adanya penghargaan yang amat tinggi kepada
ilmu pengetahuan. Di antara pengakuan tersebut, adalah sebagai berikut:
? Dozy, seorang orientalis Belanda mengatakan, “Di seluruh pelosok Andalus
tidak terdapat seorang buta huruf pun. Sementara di Eropa belum ada yang
benar-benar mengenal baca tulis, kecuali para paderi di kalangan elit.
? H.A.R Gibb, di dalam bukunya yang berjudul Aliran Modern Dalam Islam berkata:
“Saya yakin sudah menjadi kesepakatan bahwa penelitian secara mendalam dan
terperinci yang dilakuka oleh para peneliti muslim, secara signifikan dan nyata
telah menopang kemajuan ilmu pengetahuan ilmiah, dan bahwa dengan jalan
penelitian-penelitian ini sampailah metode eksperimental ke Eropa pada
abad-abad pertengahan”.
? Setelah melalui pembicaraan yang panjang dalam membandingkan kebudayaan Islam
di Andalusia dengan kebudayaan Eropa pada abad pertengahan, Fictor Robinson
berkata: “…. Para pembesar Eropa tidak dapat menandatangani nama-nama mereka.
Sementara anak-anak kecil muslim di Cordova telah mendirikan perpustakaan yang
kebesarannya menyerupai kebesaran perpustakaan Alexandria yang Agung …”
Apa yang Harus Kita Lakukan?
Said Hawa, dalam bukunya yang berjudul Al Mustakhlash fii Tazkiyyatil Anfus,
berkata: “Mengambil ilmu secara optimal sehingga tidak merasa cukup dengan sebutan
‘alim (berpengtahuan) tetapi senantiasa meningkatkan ilmunya sehingga
mendapatkan predikat ‘aliim (berpengetahuan luas) merupakan keharusan bagi
setap muslim. Maqom ubudiyyah dan ilmu menuntut agar ia menguasai fardhu ‘ain
dan mendalami salah satu fardhu kifayah.”
Mempelajari ilmu yang berhubungan dengan pembentukan individu muslim secara
ruhani, intelektual, fisik dan moral, sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan,
hukumnya fardhu ‘ain. Wanita, laki-laki, anak-anak, orang dewasa, pegawai dan
seluruh tingkatan ummat Islam wajib melaksanakannya. Oleh karena itu, belajar
membaca Al Qur’an, hukum-hukum ibadah, dasar-dasar akhlaq yang utama,
masalah-masalah halal dan haram, kaidah-kaidah kesehatan umum, dan segala yang
dibutuhkan oleh seorang muslim dalam urusan diin dan dunianya adalah fardhu
‘ain bagi setiap muslim dan muslimah.
Sedangkan mempelajari ilmu yang berkaitan dengan pertanian, perindustrian,
perdagangan, kedoteran, arsitektur, elektro, peralatan perang, dan ilmu-ilmu
lain yang bermanfaat, hukumnya fardhu kifayah. Jika sudah dikerjakan oleh
sebagian orang, maka bebaslah sebagian yang lain dari dosa dan tanggung jawab.
Tetapi, jika tidak ada seorangpun di antara masyarakat muslim yang
mengerjakannya, maka seluruh kaum muslimin harus memikul dosa dan
tanggungjawabnya.
Berdasarkan hal-hal di atas, seorang muslim seharusnya mempelajari ilmu-ilmu
Islam (syar’i) untuk menyempurnakan dirinya sebagai muslim dan menekuni salah
satu ilmu yang bermanfaat lainnya. Dalam hubungannya dengan ilmu-ilmu Islam,
hal-hal apa saja yang mestinya kita prioritaskan untuk kita pelajari?
Dalam buku Al Mustakhlash fii Tazkiyyatil Anfus, Sa’id Hawa berkata: “Kemuliaan
hamba ditentukan oleh ilmu yang dipelajarinya, karena ilmu termasuk sifat
Allah. Tetapi ilmu yang paling mulia adalah ilmu yang hasil pengetahuannya
paling mulia, sedangkan pengetahuan yang mulia adalah tentang Allah SWT. Oleh
sebab itu, ma’rifatullah merupakan pengetahuan yang paling utama. Demikian juga
mengetahui jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, atau perkara yang dapat
memudahkan pencapaian kepada ma’rifatullah dan kedekatan kepadanya.”
Sehubungan dengan hal tersebut, pada materi-materi berikutnya, kami akan
mencoba untuk memberikan pengenalan awal terhadap hal-hal yang perlu kita
prioritaskan tersebut, yaitu: Mengenal Allah, Mengenal Rasul, dan Mengenal
Islam.
wallahu a’lam bishowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa komentar dan pendapat anda? Adakah saran untuk admin?