Dengan asma Allah yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah SWT pemilik dan pencipta alam semesta
yang selalu melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya kepada seluruh makluh yang berada
di bumi dan langit maupun di antara keduanya. Shalawat dan salam semoga selalu
dilimpahkan kepada nabi muhammad saw dan seluruh keluarganya.
Sahabat-sahabatnya dan seluruh umatnya yang selalu menyampaikan risalahnya
sampai akhir zaman.
Marilah kita memulai membaca tulisan ini
dengan mengucapkan salam terindah yang pernah ada, salam penghormatan Islam,
salam penghormatan dari Allah SWT, salam yang sangat baik dan diberkahi:
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
True love never grows old.
Old love does not rust.
Cinta sejati tidak akan pernah tua.
Cinta lama tidak akan berkarat.
(pepatah)
cinta sejati adalah cinta karena ilahi.
Tulus ikhlas, tanpa pamrih dan tak lekang dimakan zaman dan ditempa cuaca.
Cinta sejati juga tahan uji, tetap akan terkenang meski jasad tercerai dari
rohnya. Banyak kisah-kisah mengharukan dari pasangan yang saling mencintai
untuk kita renungi, bahwa cinta itu meminta pengorbanan, kesetian dan
kesabaran. Jangan mengaku cinta dan mengungkapkan cinta kalau nggak mau
berkorban.
“Anda dapat memberi tanpa mencintai, tapi
anda tidak dapat mencintai tanpa memberi”
salah satu orang yang sangat setia pada
cinta adalah putri Rasulullah Muhammad SAW yang bernama Zainab al-Kubra. Pada
saat belum turun larangan menikah dengan pria non muslim, Zainab al-Kubra
menikah dengan pemuda non muslim bernama Abil Ash Ibnur Rabi'. Ketika
pernikahan berlangsungh ibunda Zainab al-Kubra, khadijah, memberi seuntai
kalung. Dari pernikahannya mereka dikarunia dua orang anak, Ali dan Umamah.
Sayang, ktika Zainab al-Kubra bercerita
tentang kerasulan ayahnya, Abil Ash Ibnur Rabi' tak bergeming, tetap pada
kemusyrikannya. Namun Zainab al-Kubra tidak menyerah ia terus mengajak suaminya
untuk beriman mengikuti jejak khadijah, Abu Bakar, Utsman bin Affan, Ali bin
Abu Thalib dan Zubair bin Awwan. Tapi yang didapat Zainab al-Kubra adalah
jawaban yang menyakitkan, “demi Allah, ayahmu bukanlah seorang tertuduh, tetapi
aku tidak ingin dikatakan bahwa aku telah meninggalkan kaumku, dan menjadi
kafir mengingkari agama bapak-bapakku hanya demi menyenangkan istriku”
Ujian terhadap keimanan dan kesetiaan cinta
Zainab al-Kubra pun datang menjelang. Ketika Rasulullah Muhammad SAW. Dan kaum
muslimin diperintahkan berhijrah ke madinah, abil ash ibnur rabi’ menolak
ajakan zainab alkubra. Akhirnya zainab terpaksa tinggal di mekkah melepas
kepergian ayahnya dan kaum muslimin.
Nggak Cuma itu, ujian berat kembali menguji
iman dan cinta Zainab al-Kubra. Kali ini, ketika perang badar meletus. Zainab
al-Kubra menyaksikan ayah dan suaminya berada di pihak yang berlawanan. Ia
gembira ketika mendengar kaum muslimin mendapat kemenangan, sekaligus bersedih
memikirkan nasib suaminya. Kemudian, sampaikanlah kabar kepadanya bahwa
suaminya masih hidup dan menjadi tawanan perang kaum muslimin. Untuk
menbebaskan suaminya, Zainab al-Kubra menyuruh amr bin rabi’ saudaranya untuk
menbawa kalung hadiah dari ibundanya sebagai penebus.
Rasulullah Muhammad SAW yang menerima
kalung hadiah pernikahan Zainab al-Kubra sebagai tebusan itu menangis. Dengan
suara berat karena kesedihan ia berkata kepada para sahabatnya, “jika kalian
tidak keberatan melepaskan tawanan itu dan mengembalikan tebusannya, maka aku
akan melakukannya.” Para sahabat pun
melepaskan Abil Ash Ibnur Rabi'.
Mendengar pembebasan suaminya, Zainab
al-Kubra bergembira. Saya Abil Ash Ibnur Rabi' tetap pada pendiriannya,
bertahan pada kemusyrikannya. Tapi Zainab al-Kubra tak surut mengajaknya
beriman. Sampai akhirnya Allah menguji keimanan Zainab al-Kubra dengan
menurunkan larangan bagi seorang mukminah bersuami non muslim. Ayahnya langsung
memerintahkan Zainab al-Kubra untuk bercerai dari suaminya. Sebagai seorang
wanita yang beriman, Zainab al-Kubra pun mematuhi perintah Allah. Ia bercerai
dan pergi ke madinah meninggalkan pria yang dicintainya dan kedua anaknya.
Suatu ketika Abil Ash Ibnur Rabi'
dikejar-kejar pasukan kaum muslimin hingga akhirnya masuk ke dalam kota madinah dan
bersembunyi di rumah Zainab al-Kubra. Melihat pria yang dicintainya dalam
bahaya, Zainab al-Kubra menberinya perlindungan. Ketika Rasulullah Muhammad SAW
dan para sahabat berada di masjid Zainab al-Kubra berseru, “hai kaum muslimin,
aku telah melindungi Abil Ash Ibnur Rabi'.” Mendengar seruan itu Rasulullah
Muhammad SAW menjawab, “kami telah melindungi orang yang telah dilindungi.”
Rasulullah Muhammad SAW keluar dari masjid
dan menuju rumah Zainab al-Kubra menemui Abil Ash Ibnur Rabi', berkatalah
Zainab al-Kubra kepada ayahnya, “wahai Rasulullah, sesungguhnya jika Abil Ash
Ibnur Rabi' ini dianggap keluarga dekat, ia masih putera paman, jika dianggap
jauh, ia adalah ayah dari anakku dan aku telah melindunginya.”
Rasulullah Muhammad SAW keluar dari rumah
Zainab al-Kubra dan mendatangi pasukan kaum muslimin dan berkata, “sesungguhnya Abil Ash Ibnur Rabi' adalah keluarga kami,
sebagaimana kalian ketahui, kalian telah mendapatkan hartanya. Jika kalian
berbuat baik dan mengembalikan harta itu, aku lebih menyukainya, jika kalian
menolak, maka itu adalah harta fa’i (rampasan perang) yang dianugerahkan Allah
kepada kalian, dan kalian lebih berhak atas harta itu.” Pasukan muslim
dengan ikhlas mengembalikan harta abul ash ibnur rabi’.
Bukan Cuma harta Abil Ash Ibnur Rabi' yang
kembali, tapi jiwa abul ash ibnur rabi’ terselamatkan. Tidak lain berkat
kesetian dan keteguhan cinta Zainab al-Kubra. Akhirnya keluarga yang pernah
terpisah selama enan tahun itu kembali utuh setelah abdul ash ibnur rabi’
memeluk Islam. Mereka berkumpul kembali bersama dengan anak-anak mereka.
Kisah kesetian cinta lain terjadi pada masa
khalifah Mu'awiyyah bin Abu Sufyan. Pada masa itu ada seorang wanita cantik
bernama su’da. Ia sudah bersuami namun suatu ketika suaminya jatuh miskin.
Sau’da pun direbut kembali oleh orangtuanya yang tidak sudi dengan kemiskinan
suaminya. Marwan Ibnu Hakam, gubernur madinah yang mengetahui kecantikan wanita
itu lantas merebutnya dari suaminya, memaksanya untuk menceraikannya dan
menikahinya.
Diriwayatkan bahwa suaminya mengadu
kemudian pada Mu'awiyyah bin Abu Sufyan ihwal perbuatan gubernurnya itu.
Mendengar kabar itu Mu'awiyyah bin Abu Sufyan murka, ia pun menyuruh orang
untuk menbawa surat kepada Marwan Ibnu Hakam, surat itu berbunyi,
“telah sampai kepadaku
bahwasanya engkau telah melampaui batas terhadap rakyatmu dan merongrong
sebagian kehormatan kaum muslimin. Engkau juga telah melampaui batas yang
ditetapkan agama. Seyogyanya seorang gubernur menahan pandangnya dari nafsu
syahwatnya dan mencegah dirinya dan kelezatan-kelezatan hawa nafsunya.”
Kemudian Mu'awiyyah bin Abu Sufyan
melanjutkan:
“alangkah celaka kamu, seandainya ada
perkara yang tidak kamu ketahui. Maka mohonlah ampun atas perbuatan para
pezina.
Si pemuda malang datang kepada kami mengharap
pertolongan, mengadukan tentang kesedihan dan duka yang teramat dalam.
Aku bersumpah kepada Tuhan dan aku tidak
akan melanggar sumpahku.
Sungguh, selamatkan dirimu dari ancaman dan
pembalasanku
Jika kamu menyalahi perintah yang
kutuliskan ini akan aku jadikan dirimu daging di atas panggang api.
Ceraikanlah Su'da dan serahkan ia segera-
Kepada al-Kamit dan Nadlr bin Dzaibar.”
Mu'awiyyah bin Abu Sufyan melipat surat itu dan membubuhkan
stempel khalifah. Sesaat kemudian ia memanggil al-Kamit dan Nadr bin Dzaiban,
menyuruh mereka berdua menyampaikan amanatnya.
Di madinah, Marwan Ibnu Hakam yang menerima
surat itu
membacanya dan menangis. Ia pun menceraikan Su'da dan menyerahkannya pada
al-Kamit dan Nadr bin Dzaiban. Lalu ia menulis surat jawaban untuk Mu'awiyyah bin Abu Sufyan
yang bunyinya:
“jangan terburu-buru menilai wahai Amirul
Mukminin.
Sungguh aku telah memenuhi janji ancamanmu
dengan tulus dan baik.
Tidaklah aku mendatangi barang haram yang
menggagumkan diriku.
Lalu mengapa engkau tuduh diriku sebagai
pengkhianat-pezina.
Sabarlah! Sesungguhnya jika engkau
melihatnya.
Niscaya angan-anganmu mengalir pada sebuah
patung manusia.
Akan datang kepada tuan, matahari yang
tidak ada menandinginya.
Dihadapan khalifah, baik golongan jin
maupun manusia.
Ia membubuhkan cap kegubernurannya dan
menyerahkan pada pembantu Mu'awiyyah bin Abu Sufyan.
Ketika rombongan sampai di istana,
Mu'awiyyah bin Abu Sufyan membaca surat
Marwan Ibnu Hakam dan penasaran dengan wanita bernama su’da yang telah direbut
marwan dari suaminya. Ketika melihatnya Mu'awiyyah bin Abu Sufyan terkejut. Ia
terpikat dengan kecantikan, kemolekan, keluguan dan keindahan perawakan wanita
tersebut. Seketika ia jatuh cinta dan melamarnya tapi wanita itu menjawab
dengan halus, “aku ingin menemui suamiku.”
Ketika pria itu dibawa ke hadapan,
Mu'awiyyah bin Abu Sufyan langsung berbicara kepadanya, “wahai orang arab,
apakah kamu masih mencintai Su'da? Aku menawarkan padamu tiga orang dayang
istana yang masih perawan sebagai ganti istrimu, setiap dayang kuberi seribu
dinar, dan aku akan memberimu uang yang cukup untuk hidup bersama ketiga dayang
itu dari baitul mal setiap tahunnya.”
Mendengar ucapan Mu'awiyyah bin Abu Sufyan,
pria itu seketika jatuh pinsan. “ada apa dengan dirimu?” tanya Mu'awiyyah bin
Abu Sufyan.
“sangat marah dan sedih. Aku datang untuk
meminta perlindunganmu dari kezhaliman Marwan Ibnu Hakam. Lalu kepada siapa aku
meminta perlindungan dari kezhalimanmu?” jawab orang itu mengiba.
Kemudian ia berkata, “demi Allah, wahai
amirul mukminin, seandainya engkau beri aku kursi kekhalifahan dengan segala
isinya, itu tidak ada nilainya bila dibandingkan dengan Su'da.”
Mu'awiyyah bin Abu Sufyan yang takjub
dengan kesetian pria ini lantas bertanya kepada Su'da, “mana yang engkau pilih:
aku amirul muminin yang diliputi limpahan kemulian, kekuasaan dan istana; atau
Marwan Ibnu Hakam yang berbalutkan sifat kejam dan zalim; atau lelaki arab yang
tenggelam dalam kefakiran, kelaparan dan kesengsaraan ini?”
Su'da menjawab “aku memiliki kenangan manis
bersama laki-laki ini, cinta yang tak tergoyahkan bersamanya aku akan sabar
menghadapi kesengsaraan hidup, sebagaimana bersamanya aku mereguk kenikmatan
pada saat bahagia menjelang.”
Mu'awiyyah bin Abu Sufyan terkagum-kagum
dengan kecintaan Su'da pada suaminya yang miskin. Ia kemudian memberi sepuluh
ribu dinar dan beberapa lembar pakaian kepada wanita itu. Hal yang sama ia juga
lakukan pada suaminya, lalu ia mengembalikan wanita itu pada suaminya dengan
akad yang syah.
Cinta sejati adalah cinta karena Allah Azza
Wa Jalla. Bencipun adalah karena Allah. Cinta seperti itu akan senantiasa lulus
dari berbagai ujian dan mendatangkan berkah pada para pemiliknya. Cinta seperti
inilah yang harus dimiliki para pecinta di atas muka bumi ini.
Sumber : Kang Dicky
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa komentar dan pendapat anda? Adakah saran untuk admin?