"Selamat sejahtera semoga keselamatan dan keberkahan dilimpahkan kepada anda"

Senin, 05 Maret 2012

Seputar Dunia Anak


Dalam kehidupan sehari-hari, tentu saja kita tak lepas dari bantuan orang lain. Dengan kata lain kita saling membutuhkan. Entah itu dalam lingkungan keluarga, dengan teman, dengan tetangga atau dalam lingkup yang lebih luas lagi.


Dalam hal ini, kita sebagai orang tua bisa mengajarkan ke anak-anak, bagaimana agar anak mau berbagi dengan temannya.

Hal-hal yang harus diperhatikan diantaranya adalah:

1. Jangan memaksa anak memahami Anda.
Sebagai contoh, Anda mengambil mainannya dan memberikan kepada anak lain atau temannya. Apa yang dipelajari atau ada di benak anak ketika itu? Anak akan berpikir bahwa Anda merampas mainannya, mengganggunya.
Nah, sebagai orang yang paling dekat dengan anak-anak Anda, tugas Anda adalah memahami pikiran anak, dan memberi contoh verbal tentang berbagi, bukan memaksa anak-anak untuk memahami Anda.

2. Jangan memaksa anak untuk berbagi.
Anak-anak yang lebih kecil biasanya suka sekali meniru kakak-kakaknya. Begitu melihat sang kakak bermain dengan bola baru atau boneka baru, misalnya, dia pasti akan mencoba mengambilnya. Tetapi kita tak bisa berharap sang kakak akan dengan sukarela memberikan mainannya, bukan? Seringkali orang tua lupa bahwa makna berbagi adalah menghargai orang lain. Daripada Anda mengajari anak untuk berbagi mainan, coba lebih ditekankan untuk mengajari anak belajar menghormati teman atau saudaranya.

3. Mengajarkan bermain bergantian
Bergantian adalah strategi dasar yang digunakan orangtua untuk mengajarkan anak konsep berbagi.
Setiap kali bermian bersama, anak-anak diminta bermain secara bergantian. Anak yang paling besar bisa diberikan kepercayaan untuk mengatur, siapa yang lebih dulu bermain, terus gantian siapa lagi. Bisa dengan duduk berjejer untuk menunggu giliran bermain. Atau ditinggal main yang lainnya dulu, nanti setelah tiba giliran dia bermain akan dipanggil.

4. Jangan merebut mainan anak.
Jangan sekali-sekali Anda merebut mainan dari tangan anak hanya demi mengajarkan perihal berbagi. Sekali Anda mengajarkan kekerasan, maka Anda tengah mengajari anak hal yang sama. Lebih baik, sampaikan dengan bahasa yang bagus, dan sodorkan tangan. Yakinlah, hasilnya akan jauh lebih baik daripada cara pertama.

Belajar berbagi akan lebih mudah bila sudah terbiasa di lingkungan terkecil yaitu keluarga. Bukan hanya soal mainan, berbagi sepotong kue misalnya, bila anak sudah terbiasa berbagi dengan saudaranya, dengan adiknya, dengan kakaknya, maka ia akan lebih mudah berbagi dengan orang lain.
Untuk anak tunggal, mengajari berbagi dengan bapak/ibunya juga tidak apa-apa.

Hal-hal di atas masih dalam lingkup yang sederhana, untuk ke depannya dalam berbagi bisa yang melibatkan banyak orang, misalnya berbagi dengan
anak-anak yatim di panti asuhan, dl 



Tips/cara mengenalkan arti bahaya pada anak.

Kita semua tahu bahwa bahaya ada dimana saja, bahaya ada disekitar kita. Kita memerlukan cara komunikasi yang tepat untuk memberikan penjelasan selengkap mungkin mengenai apa itu bahaya, bukan hanya sekadar melarang kepada
anak-anak. Ada beragam bahaya yang mungkin bakal ditemui anak di lingkungannya.

Komunikasi atau penjelasan dengan bahasa yang sederhana tentu akan mudah dipahami dan diterima oleh anak. Kita sediakan waktu yang cukup untuk menjelaskannya, jangan terburu-buru. Misalnya anak terluka kena pisau, anak merasakan sakit. Dan dari hal tersebut, anak akan belajar langsung bahwa menggunakan pisau itu harus hati-hati, karena membahayakan dirinya.

Contoh lain, setrika yang baru saja dipakai, tentu masih panas. Beri tahu anak, jangan menyentuhnya, itu masih panas. Anak tidak perlu menyentuhnya secara langsung karena dikhawatirkan membuatnya cedera dan trauma. (Tapi terkadang, karena rasa ingin tahu anak yang tinggi, kadang anak memegangnya juga, setelah merasakan bahwa masih panas, baru percaya deh...).

Bagaimana cara mengenalkan bahaya kepada anak-anak?
Berikut ini tips/cara mengenalkan arti bahaya pada anak:

1. Jelaskan hubungan sebab-akibat yang mungkin timbul.
Selain dapat membuat anak memahami bahwa sesuatu yang dilarang ini memang dapat membahayakan dirinya, juga sekaligus dapat mengembangkan kemampuan kognitifnya untuk mempelajari hubungan sebab-akibat.
Dalam mengenalkan api, misal, berikan penjelasan tentang akibat yang ditimbulkan. "Api ini berbahaya karena panas. Saking panasnya, bila terkena api dapat menyebabkan luka bakar di kulit. Permukaan kulit akan menggelembung seperti balon dan berisi air, rasanya perih dan sakit."
Misalnya ketika si ibu tangannya ada yang sakit terkena panas, ini bisa diperlihatkan ke anak-anak, sehingga anak akan selalu ingat dan tidak akan melakukan hal yang berbahaya.

2. Ajak anak untuk mencoba langsung.
Untuk lebih memahami rasa panas itu, ajak anak ke dapur.
Misalnya: suruh anak memegang tempe goreng yang masih panas dan baru saja diangkat dari penggorengan. Cara ini untuk membuktikan secara konkret akan rasa panas. Anda bisa sambil memberikan penjelasan. Dari api kompor yang panas, minyak untuk menggoreng yang panas sehingga masakan bisa matang, tempe yang sudah diangkat juga panas. Jadi jangan main-main api atau kompor karena berbahaya.

3. Minta anak mengungkapkan pendapatnya.
Setelah anak merasakan langsung, minta ia mengungkapkan pendapatnya. Dengan demikian dapat diketahui, apakah si batita sudah memahami atau belum penjelasan yang baru saja disampaikan.
"Bagaimana? panas kan? sakit tidak? besok jangan diulangi ya!"

4. Ajari anak tentang pertolongan yang harus ia lakukan bila dirinya mengalami bahaya.
Untuk memudahkan pemahaman si batita, tentunya tak cukup dengan memberikan penjelasan tetapi sampaikan pula cara-cara yang harus dilakukan dengan konkret.
Contoh : saat anak terkena pisau. Praktekkan cara membersihkan lukanya berikut cara memberikan obatnya serta cara membalutnya bila perlu. Dengan demikian, misalnya pada saat si kecil terluka, ia sudah mampu menolong diri sendiri. Biasanya, ketika sedang berkumpul atau orang tuanya tiba di rumah, anak akan bercerita tentang lukanya, kenapa dia bisa terluka dan sebagainya. Anda bisa melihat lukanya, kalau perlu dibersihkan lagi, ganti pembungkus lukanya dengan yang baru.

5. Untuk masalah elektronik seperti gambar di atas, Anda sebagai orang tua harus waspada. Misalnya dengan menutup colokan yang jarang dipakai, selalu beri pengaman untuk masalah listrik. Apalagi disini, rata-rata watt-nya besar, misalnya vacuum cleaner, setrika, blender, mixer dll dengan 1000 watt lebih. Belum elektronik lainnya.

6. Juga hal lain, misalnya kolam, parit. Sudah selayaknya kita yang tertib dan waspada, beri pagar untuk kolam, dll. Sering juga membaca berita anak kecil masuk kolam tak tertolong jiwanya.
Selain kita yang waspada, anak-anak tetap harus diberi tahu bahwa itu berbahaya.


Artikel Bermain pasir, yuk! disini dengan komentar masuk yang sedikit 'ramai' membuatku berpikir ulang. Yang pertama, aku hidup dimana sih? Kadang lupa kalau pengunjung blog ini sebagian besar berasal dari Indonesia. Dan artikel disini kadang berisi sharing pengalaman sehari-hari masalah anak-anak disini atau malah anak-anakku sendiri. Terbiasa dengan lingkungan yang bersih, tertib, coret-coretan pylox (cat warna-warni) di tempat umum jarang sekali aku temukan bahkan tidak ada, juga musim yang bisa dikatakan hanya musim dingin dan musim panas, jarang ada hujan. Anda semua tahu kan, kalau hujan sering menimbulkan lumut? Nah disini, karena jarang sekali turun hujan, lumut hampir tidak ada, arena bermain tidak berlumut (tapi kalau sedang musim debu ya jadi berdebu). Bisa dikatakan disini udaranya kering, tidak lembab. Jadi melepas anak-anak bermain di tempat bermain atau di taman tidak begitu khawatir.

Apa reaksi umum orangtua jika melihat anaknya bermain pasir atau lumpur hingga mengotori wajah, tangan, pakaian, atau bahkan seluruh tubuhnya? Panik, marah, atau cenderung membiarkan saja?
Menurut para peneliti, biarkan saja anak bermain kotor-kotoran. Bahkan, anak-anak sesekali harus kotor karena jika terlalu bersih, kemampuan kulit anak untuk menyembuhkan diri sendiri justru terganggu atau malah rusak.

Hasil penelitian tim peneliti School of Medicine di University of California, AS, menyebutkan, bakteri bernama Staphylococci yang hidup di kulit membentuk semacam jaringan yang mencegah peradangan ketika kita terluka.

Bakteri itu juga mengurangi reaksi ketahanan tubuh yang berlebihan. Para pakar medis mengatakan, temuan tim peneliti itu memberikan penjelasan atas ”hipotesis kesehatan” yang menyebutkan jika tubuh dibiasakan menghadapi kuman sejak usia dini, maka kemungkinan besar tubuh akan menciptakan jaringan pelindung dari berbagai macam alergi.

Selama ini ada pandangan bahwa obsesi masyarakat pada kebersihan sebenarnya mulai muncul ketika alergi merebak di negara-negara berkembang. Fakta ini membantu mereka untuk meneliti lebih lanjut  tentang cara menangani penyakit-penyakit kulit yang menular. Dan kesimpulannya, semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa tubuh sebenarnya akan menjadi lebih kebal jika kerap terekspos dengan kuman.

Berdasarkan hasil penelitian diatas, kita bisa mengambil sikap kepada anak-anak kita, tapi sekali lagi kembali kepada masing-masing juga bagaimana situasi dan kondisi lingkungan dimana kita tinggal.
Anda pernah melihat anak-anak bertengkar? Atau malah tiap hari melihatnya? Bagaimana cara mengatasi anak yang bertengkar?
Kadang lucu juga melihat anak-anak bertengkar, jadi ingat masa kecil, bertengkar dengan kakak atau adik, rebutan mainan, atau ketika sedang belajar diganggu sama adik, di ambil pensilnya, dsb. Tapi kalau
anak-anak bertengkar sampai kelewat batas, ya orang tua mesti turun tangan, melihat mereka bertengkar jangan dibiarkan saja. Ada kalanya membiarkan mereka bertengkar, hingga akhirnya mereka baikan lagi, saling minta maaf dan kembali main bersama-sama lagi ada rasa senang. Ternyata anak-anak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri, Bukan sedikit-sedikit mengadu ke orang tua, jadi anak cengeng, dsb.

Kakak dan adik berebut mainan, si adik sudah minta berulang kali tapi sama kakak tidak diberikan juga. Akhirnya si adik berujar, "Kakak, mba Ama sebel" (dengan mimik muka yang jengkel banget).
Kakak senyum-senyum saja mendengar kata adiknya, karena memang bermaksud menggodanya saja.
Aku yang melihatnya senyum-senyum juga, mba Ama sudah tahu rasa sebel, jengkel dsb. Akhirnya adik kakak baikan lagi, tanpa campur tangan saya.

Nah ketika menghadapi anak yang sedang bertengkar, apa yang seharusnya kita lakukan? Berikut ini beberapa tips mengatasi anak yang bertengkar:

1.Orang tua jangan membentak.
Ketika anak-anak bertengkar sebaiknya orangtua tidak membentak dan emosi pada mereka, bersikaplah sabar dan tenang ketika menghadapi pertengkaran diantara mereka. Karena emosi hanya akan menambah suasana hati anak menjadi lebih buruk.

2. Cari penyebab pertengkaran.
Pertengkaran anak misalnya dikarenakan mereka berebut mainan, alat tulis, buku cerita, tempat duduk atau yang lain, Anda bisa meminimalisir dengan menyediakan  barang-barang tersebut dengan 2 buah atau lebih, dengan warna yang sama  atau dengan gambar sesuai kesukaan/pilihannya masing-masing. Untuk buku cerita, bisa diajarkan saling tukaran atau bergantian meminjam.

3. Saling damai tentu lebih baik.
Ini bisa dilakukan dengan mengajarkan untuk selalu saling minta maaf, bersalaman dan setelah itu main bersama lagi.

4. Beri pujian.
Ketika anak-anak sudah akur kembali, sudah main bersama lagi berikan pujian. Seperti misalnya, Anda sangat menyayangi mereka, ayah dan ibu sangat senang melihat kebersamaan kalian dan tidak bertengkar lagi.

Untuk anak laki-laki dan perempuan, juga selisih umur antara adik dan kakak, jarak kelahiran antara adik dan kakak juga bisa menjadi penyebab pertengkaran. Biasanya anak yang jarak kelahirannya terpaut jauh dengan adiknya akan sangat sayang dengan adiknya, bersikap melindungi terhadap adiknya.

Sebaiknya orangtua bersikap saling menghormati dan menyayangi terhadap anggota keluarga yang lain, sehingga anak bisa belajar dari apa yang orangtua ajarkan pada mereka. Sebuah nasehat saja tidak cukup. Anak akan lebih mudah menerima jika melihat contoh nyata dari kedua orang tuanya.

Dengan adanya sikap saling menghormati dan menyayangi di antara anggota keluarga, diharapkan perselisihan atau pertengkaran dapat dihindari atau setidaknya dikurangi.



Orang tua tentu senang jika mempunyai anak yang memiliki rasa percaya diri yang tinggi atau sering disingkat PD. Karena dengan kepercayaan diri atau rasa percaya diri yang mereka miliki ini dapat menciptakan prestasi dalam kehidupan mereka nantinya, dan juga keberhasilan dalam bersosialisasi.

Berikut ini beberapa tips atau cara untuk membangun atau meningkatkan rasa percaya diri pada anak:

1. Ciptakan lingkungan
rumah yang nyaman dan aman bagi anak.
Ini merupakan awal dari segalanya. Berikanlah rutinitas yang cukup nyaman bagi anak-anak. Interaksi dan komunikasi antar anggota keluarga juga terjalin dengan baik. Buat anak agar merasa nyaman dan aman tinggal dirumah. Untuk hal ini rasanya mutlak ya? semuanya berawal lari lingkungan terkecil, yaitu keluarga. Kalau dirumah sendiri anak merasa tidak nyaman, nanti lebih banyak di rumah tetangga deh...hehe...

2. Perkenalkan anak-anak dengan lingkungan sekitar.
Kenalkan mereka dengan kehidupan bersosialisasi secara bertahap. Misalnya pada saat kita sedang bermain dengan anak
di taman, ada anak kecil yang berada disana, dorong anak untuk berkenalan dan bermain bersama. Hal ini untuk mengembangkan kemampuan sosialnya dan agar dia tidak merasa malu pada saat berada di tempat umum.
Juga perkenalkan anak dengan banyak orang agar anak tidak takut dengan keramaian. Anak yang takut dengan keramaian, tentu akan menghambat pertumbuhan dan aktifitasnya juga. Seperti, anak akan takut bersekolah, terlebih jika temannya dari berbagai daerah, beda negara, beda bahasa pengantarnya dan sebagainya.

3. Beri batasan kepada anak berapa lama ia boleh menonton televisi,
main internet, juga game online.
Berdasarkan penelitian hal ini terbukti membuat anak cenderung bersikap individu.

4. Agar anak-anak sering bertemu orang lain, ikutkan dalam kegiatan di luar jam sekolah.
Untuk anak yang belum bersekolah, pertemukan dengan teman bermainnya. Sekali-kali anak diajak atau diikutsertakan dalam kegiatan ibu atau bapaknya. Jadi anak akan mengenal orang lain dari berbagai kalangan, juga berbagai jenis umur. Dalam hal ini anak juga akan belajar, bagaimana menghormati orang lain atau orang yang lebih tua.

5. Minta anak untuk membantu kegiatan kita atau beri tugas pekerjaan (tentu yang sesuai dengan usianya).
Hal ini akan melatih anak
- bertanggung jawab untuk menyelesaikan tugas yang telah diberikan padanya.
- membangun rasa percaya dirinya.
- merasa bangga dan dihargai.

6. Berikan dukungan atau support ketika ia mempelajari hal-hal baru.
Misalnya: yakinkan padanya bahwa Anda yakin dia akan berhasil dengan baik, atau Anda yakin bahwa ia mampu melakukannya dengan baik.   

7. Selalu berikan dorongan yang positif kepada mereka!
Ingat ya! Dorongan positif. Ini menurutku seperti sebuah doa.
Misalnya: anak pinter, kamu pasti bisa. Dengan demikian anak akan makin terpacu berprestasi, anak terpacu untuk maju. Tapi kalau Anda mengucapkan seperti ini: anak bodoh, bagaimana sih, soal seperti ini saja tidak bisa mengerjakan. Tentu mendengar kata-kata seperti itu anak akan makin mundur, makin tidak percaya diri, makin malas berusaha toh memang ia bodoh. Orang tua mengatakan ia bodoh, maka yang terpatri di hatinya ya ia memang anak yang bodoh. Padahal tidak seperti itu kan?





Membicarakan cinta, kasih sayang dan perhatian ini rasanya tak ada habisnya, ketiganya mempunyai keterikatan, saling berkaitan satu sama lain. Cinta bukan hanya kepada pasangan, tapi juga cinta kepada anak-anak kita. Cinta, kasih sayang dan perhatian kepada anak-anak tercinta.
Apakah anak-anak sudah mengerti cinta? hmmm gimana ya?
Cinta dalam pengertian
anak-anak mungkin lebih kepada kasih sayang, bentuk perhatian dan sebagainya.
Apakah anak-anak membutuhkan cinta? iya dong...
Misalnya ketika seorang anak ditanya, apa itu cinta? Ia menjawab, cinta adalah ketika seorang ibu sedang sakit, ayah memasakkan untuk ibu. Atau jawaban lain, cinta adalah ketika mama memberikan aku sebatang coklat sebagai hadiah.

Bagaimana caranya mengungkapkan cinta kepada anak-anak? Kita bisa memberikan cinta kepada anak-anak dalam bentuk perhatian dan kasih sayang kita sebagai orang tua. Dengan tujuan menciptakan kenyamanan dan kehangatan dalam hubungan antara anak dan orang tua.

Berikut ini beberapa langkah/cara untuk menunjukkan cinta, kasih sayang dan perhatian Anda kepada buah hati tercinta:
* Mengajak anak-anak untuk sholat berjamaah, dilanjutkan mengaji.
* Mendekapnya ketika dia menangis.
* Meluangkan waktu di sela-sela kesibukan kerja. Waktu yang sedikit asal berkualitas sangat berarti bagi anak untuk menikmati kebersamaan dengan orang tuanya.
* Materi yang berlimpah tidak cukup untuk anak. Anda beri materi yang cukup untuk anak, semua permintaannya Anda penuhi, anak tinggal dengan pengasuh, Anda sibuk bekerja, tentu anak anak merasa kesepian, orang tuanya sibuk tanpa pernah meluangkan sedikit saja waktunya untuk sekedar mendengarkan ceritanya. Atau bahkan mungkin malah anak akan merasa asing dengan
orang tua sendiri.
Artinya, materi berlimpah tidak bisa menggantikan cinta, kasih sayang dan perhatian Anda kepada anak-anak.
* Rangkul dan peluk anak ketika anak memerlukan perlindungan.
* Ketika si kecil berbicara, tatap matanya, dengar ceritanya dengan baik sehingga anak akan tumbuh rasa percaya diri. Juga ketulusan Anda sangat dirasakan si kecil.
* Beri kecupan menjelang si kecil tidur, bacakan
dongeng untuknya.
* Kita menyayangi anak, bukan berarti semua permintaannya kita kabulkan. Kita tetap harus bisa menyeleksi mana yang diperlukan mana dan yang tidak, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak.
* Sesekali beri kejutan untuk si kecil. Misalnya, saat ia mengerjakan tugas yang Anda berikan dengan baik, beri
kado kecil untuknya.
* Memberi penjelasan sesuai usianya ketika si kecil bertanya.
Ketika orang tua sedang cape/lelah, kadang yang ada bukannya menjawab dan menjelaskan kepada si kecil tapi justru marah yang didapat. Juga untuk anak yang aktif bertanya, kadang orang tua dibuat pusing, bingung harus menjawab apa, bisa juga orang tua sampai kehabisan kata-kata



Beberapa hari yang lalu, ada pembaca yang menuliskan seperti ini:
tipsnya bagus tapi gimana ya tips untuk anak yang berusia 1,5 tahun agar bisa cepat berjalan..

Meski kemarin sudah saya jawab sebisanya, mungkin artikel berikut bisa menjawab secara ilmiah.
Artikel berikut saya copy dari okezone.com
***

RENTANG waktu seorang anak mulai bisa berjalan biasanya saat berusia 9 bulan hingga 18 bulan. Jika lebih dari itu si buah hati belum juga bisa berjalan, apakah orang tua musti khawatir?

Semua
orang tua tentu menanti-nantikan hari ketika sang bayi berhasil untuk pertama kalinya melangkah tanpa terjatuh. Namun, sebenarnya usia berapa anak mulai berjalan? Banyak orangtua yang menganggap jika langkah pertama tidak datang juga pada usia bayi 12 bulan, maka boleh saja khawatir karena sang buah hati memiliki keterlambatan perkembangan. Benarkah demikian?

“Berjalan merupakan kepedulian umum para orangtua muda karena mereka merasa berjalan berkaitan dengan kecerdasan seorang anak,” kata Brenda Nixon, seorang ahli perkembangan anak dan penulis buku “The Birth to Five Book”. “Itu anggapan lama jika berpikir seorang bayi lebih pintar karena bisa berjalan pada usia 10 bulan. Berjalan berkaitan dengan tabiat anak dan kesempatan, bukan kecerdasan,” sebutnya.

Mayoritas orangtua mengharapkan anak mereka sudah mulai berjalan pada saat ulang tahun pertamanya. Namun, rentang usia anak mulai bisa berjalan bervariasi dari termuda sekitar 9 bulan sampai usia 18 bulan. Dalam rentang normal tersebut, seorang anak yang baru bisa berjalan pada usia akhir 18 bulan biasanya karena dua alasan, terutama kurangnya kesempatan, masalah genetika, dan tabiat.

“Sering kali orangtua menceritakan bahwa anaknya yang berusia 13 bulan belum bisa jalan. Dan, pertanyaan saya kepada mereka adalah, apakah Anda memberinya kesempatan?” kata Nixon seperti dikutip Babyzone.com. “Saya menyarankan orang tua untuk tidak langsung mengangkat kedua tangannya dan mengajaknya berjalan ke luar kamar,” ujarnya.

Namun, peganglah tangan anak dengan lembut dan biarkan dia berjalan sendiri. Bisa juga pegang tangan anak, lalu ajak berkeliling rumah, ke luar rumah atau saat menuju garasi mobil. Atau Anda biarkan anak untuk memegang sisi kereta dorong atau trolley belanjaan saat berada di supermarket. Ini adalah cara terbaik dan kesempatan yang anak butuhkan,” lanjut Nixon.

Pada lain waktu, biarkan bayi Anda belajar berjalan sendiri. Judy Nichols, seorang ibu dari Wilmington, North Carolina, Amerika Serikat, sebelumnya sangat khawatir ketika putrinya belum bisa berjalan pada usia 18 bulan. Meskipun anaknya tersebut dinyatakan memiliki perkembangan normal, terlihat dari anaknya yang kelihatan bahagia dan sudah bisa berbicara lebih dari 35 kata. Dan, dokter meyakinkan Nichols untuk tidak khawatir.

“Ketika anak saya beranjak 19 bulan, dia mulai mau berjalan jika seseorang memegang tangannya, namun bukan dengan dirinya sendiri,” kata Nichols, yang ternyata juga telat berjalan ketika kecil.

“Kemudian setelah dua atau tiga minggu dari itu, dia mulai bangun dengan kakinya, berdiri dan berjalan seolah-olah dia telah melakukannya selama berbulan-bulan. Saya pikir dia hanya tidak ingin jatuh. Atau dia sedang berkonsentrasi belajar bagaimana berbicara, dan tidak melihat gunanya untuk berjalan,” ceritanya.

Sementara, sebagian besar anak yang terlambat berjalan, baik-baik saja, termasuk
anak-anak yang sehat. Selain itu, ada faktor yang menyebabkan seorang anak kehilangan tonggak perkembangan ini. “Beberapa anak dengan gangguan neuromuskuler, genetika, atau masalah metabolisme sehingga membuat anak terlambat berjalan karena kondisi medis,” kata dr Daniel Brennan, seorang dokter anak di Sansum Clinic and Cottage Children’s Hospital, Santa Barbara, California, Amerika Serikat.

Anak-anak lain juga bisa telat berjalan karena masalah ortopedi yang mendasari, seperti displasia pangkal paha. Anak-anak ini dapat dievaluasi oleh seorang dokter anak dan ahli ortopedi anak,” lanjutnya. Adapun sesuatu yang penting disadari orang tua adalah peningkatan perkembangan motorik kasar seorang bayi dan juga anak-anak dengan kelainan akan terlihat tanda-tanda sebelumnya.

“Biasanya jika seorang anak terlihat terlambat berjalan, maka sebelumnya dia juga adalah seorang yang telat bisa duduk,” ujar dr Peter Greenspan, Direktur Medis MassGeneral Hospital for Children di Boston, Amerika Serikat. Perkembangan motorik kasar yang utama pada seorang anak, di antaranya kontrol terhadap pergerakan kepala pada usia 4 bulan dan duduk pada usia 6 sampai 8 bulan.

Seorang anak yang belum bisa duduk pada usia 10 atau 11 bulan mungkin akan menjadi anak yang kemampuan jalannya terlambat,” kata Greenspan. “Namun, harap tenang karena keterlambatan perkembangan motorik kasar seorang anak itu tidak terlahir begitu saja,” sebutnya. Ketika anak Anda sedikit tertinggal dari teman-temannya, orangtua tidak bisa membantu dengan hanya merasa khawatir.

Adapun pada kebanyakan kasus, anak yang terlambat berjalan sebenarnya tidak perlu dipusingkan. “Anak-anak biasanya fokus pada keterampilan yang berbeda pada waktu yang berbeda sehingga ada berbagai macam cakupan yang luas pada diri seorang anak disebut normal,” kata Helen Neville, seorang perawat dan penulis buku “Is This a Phase? Child Development and Parenting Strategies, Birth to 6 Years”.

“Bila seorang anak terlambat pada sebuah tonggak penting perkembangannya, mungkin ada atau mungkin tidak ada hal-hal khusus yang harus orang tua lakukan untuk membantunya. Terkadang hanya menunggu adalah sebuah keputusan yang benar, tetapi kadang-kadang membantu lebih dini sangat penting. Itu sebabnya, evaluasi individu setiap anak dengan seorang profesional yang memiliki pengetahuan soal ini sangat penting,” sebutnya.



Anak Nakal, Bagaimana Mengatasinya?

Semua anak yang lahir ke dunia itu dalam keadaan sama, belum bisa apa-apa. Bagai selembar kertas putih, yang membedakan nantinya adalah tangan-tangan yang menulis di atas kertas tersebut.
Jadi, ketika seorang anak menjadi nakal, itu adalah akibat dari orang-orang di sekelilingnya. Bisa dari orang tua, lingkungan sekitar, tontonan TV atau media lain. Karena apa yang dilihat, didengar oleh anak, semuanya akan diserap oleh anak.

Anak kecil sebenarnya sudah tahu dan bisa memilih loh...
Misalnya seperti ini, suatu hari terjadi percakapan aku dengan anakku:
"Mba Ama white, mama black, " kata Salma sambil membandingkan warna kulit dia dengan kulitku.
"Mba Ama cantik, mama jelek," katanya sambil melihat muka mamanya.
Aku cuma bengong, heran, anak seumur dia sudah bisa memilih mana yang menurut dia lebih baik.

Ketika anak sedang mengerjakan tugas sekolah, PR (homework) misalnya, dan anak merasa kesulitan mengerjakannya, mana yang lebih sering Anda ucapkan kepada anak?
(a). dasar anak bodoh, soal begitu saja tidak bisa mengerjakan.
atau
(b). sayang, mama percaya kakak bisa mengerjakannya. Coba dihitung lagi atau (kalau pelajaran selain berhitung), coba dicari lagi dibuku teksnya.

Kalimat (b) tentu akan terasa lebih enak didengar oleh anak, daripada kalimat (a). Walaupun anak belum tentu bisa mengerjakan PR-nya, tapi berkat dorongan kita anak akan termotivasi untuk mencari tahu jawabannya, dan harapan kedepannya anak akan belajar lebih tekun lagi.

Ucapan kita ke anak-anak adalah do'a kita, sugesti kita untuk mereka. Jadi sebisa mungkin, ucapkanlah kata-kata yang baik untuk anak-anak.
"Tapi kadang anak-anak itu menjengkelkan". "Iya, tapi itulah proses, anak-anak masih belajar dan kita memang harus bersabar dalam membimbing mereka."

Bagaimana kalau anak itu aktif sekali?
Hal yang wajar apabila seorang anak itu aktif, bergerak kesana-kemari, tapi perlu diperhatikan aktifnya itu yang bagaimana.

1. Anak hiperaktif aktif
Adalah anak yang selalu bergerak tanpa merasa kelelahan dan ia akan merasa gelisah bila tidak bergerak. Umumnya ia akan terus bergerak bahkan baru berhenti bila ia mengalami trauma/luka. Yang penting diperhatikan adalah anak dengan kondisi seperti ini, dia tidak memperhatikan atau mengabaikan perintah yang ditujukan kepadanya, tampak tidak memperdulikan meskipun mungkin saja memberikan sedikit respon pada perintah atau sapaan yang ditujukan kepadanya. Anak hiperaktif cenderung membutuhkan obat untuk mengurangi kondisi hiperaktif tersebut.

2. Anak autis
Anak autis adalah anak yang lebih senang sendirian, tidak memberikan kontak mata kepada lawan bicara, bahkan terkadang terkesan seperti mengalami ketulian. Anak autis sedikit bicara atau tidak pernah mengeluarkan kata kata, perhatiannya lebih tertuju pada satu hal saja. Ia senang melakukan gerakan yang monoton atau berputar putar. Namun hal ini harus diperhatikan dengan sangat seksama. Anak yang pendiam belum tentu autis, tapi mungkin saja ia masuk golongan anak berbakat.

3. Anak aktif tapi berbakat
Anak yang aktif namun berbakat biasanya juga menunjukkan gejala yang sama dengan anak yang hiperaktif, namun dengan pendekatan psikologis dan terapi perilaku kondisnya akan membaik.
Jadi selama anak masih merespon dan ada kontak mata dengan lawan bicara, kita tidak perlu khawatir.

4. Anak aktif bertanya
Ada anak yang senang mengeksplorasi, rasa ingin tahu yang tinggi, banyak bertanya dan seakan tiada habisnya. Bahkan mungkin sebagai orang tua, kita sampai kebingungan menjawabnya. Berikan jawaban atau pengertian yang benar ke anak-anak karena jawaban itu akan terekam dalam memory mereka hingga dewasa.
Ketika orang tua/orang di sekitarnya memberikan jawaban yang salah, maka anakpun akan mengingat jawaban itu hingga dewasa. Contohnya, ada komentar masuk di blog ini pada artikel beberapa waktu lalu yang mengungkapkan hal ini.


Kegiatan apa yang cocok untuk anak-anak?
Belajar. Gak mungkin kan anak-anak disuruh kerja? hehe....
Untuk anak yang sudah bersekolah pasti sudah penuh dengan jadwal sekolahnya. Pulang sekolah juga pasti ada tugas-tugas yang harus dikerjakan. Kegiatan ekstra sekolah, mungkin juga ada les tambahan, mengaji dan lain-lain. Anak-anak sekarang, waktu bermainnya sangat sedikit.

Untuk anak yang belum bersekolah, apa yang cocok buat mereka? Belajar juga, tapi belajar sambil bermain. Anak usia 4 tahun biasanya sudah sekolah, sudah masuk play group. Nah untuk anak dibawah usia 4 tahun, Anda bisa membimbingnya dengan memanfaatkan benda-benda di sekitar kita. Membimbing loh...itu artinya kita terlibat didalamnya, ikut bermain, ngobrol bareng anak, membacakan cerita dan lain-lain.
Dengan benda-benda yang ada di sekitar kita hal yang paling mudah adalah pelajaran berhitung.
Mengenal warna, bisa menggunakan mainannya, atau dari buku. Buku untuk anak-anak biasanya full color kan? Nah manfaatkan warna-warna di buku itu untuk mengenalkan macam-macam warna ke anak.
Menyanyi. Bisa kita stelkan CD/DVD lagu anak-anak. Anak-anak pasti akan lebih cepat menghafalnya. Atau bisa juga distelkan saat di perjalanan pakai mobil. Untuk sementara, yang dewasa mengalah dululah, nyetelnya lagu anak-anak dulu. Dengan demikian, anak akan mudah menghafal, perjalanan juga menyenangkan buat anak.

Bagaimana kalau anak-anak meniru apa yang kita lakukan/kerjakan?
Ya itulah anak-anak, mereka ingin tahu, ingin bisa juga mengerjakan hal tersebut.
Bagaimana kalau anak-anak menirukan ucapan kita? merekam ucapan kita?
Ya itulah anak-anak, mereka masih dalam proses belajar.

Bagaimana kalau anak-anak nakal?
Anak-anak mungkin aktif bukan nakal, itu artinya anak minta perhatian kita sebagai orang tuanya. Jangan sampai seorang pembantu lebih tahu perkembangan buah hati kita daripada orang tuanya sendiri. Janganlah kita memenuhi hari-harinya dengan kegiatan yang berat buat anak, jangan penuhi jadwal setiap harinya hingga merenggut waktu bermainnya. Biarkan ia menikmati masa kanak-kanaknya, yang takkan terulang.

Bagaimana kalau anak itu aktif dan kreatif?
Arahkan anak yang kreatif agar kreatif ke hal yang positif. Misalnya anak suka menggambar, agar tidak coret-coret di tembok, belikan dia kertas gambar dan alat menggambarnya begitu pula dengan hal yang lainnya.





Anak Kecil Suka Coret-coret? Inilah alasan dan solusinya


Orangtua seringkali menemukan coretan-coretan pada dinding rumah yang dilakukan oleh si kecil. Betul? Mengapa anak kecil suka sekali mencoret-coret?

Kelakuan ini seringkali membuat orangtua menjadi kesal dan marah, karena tembok rumah yang tadinya bersih jadi kotor. Biasanya anak kecil belum bisa menggambar bentuk yang benar, sehingga coretan yang ada masih belum terbentuk. Namanya juga belajar, tentu memerlukan proses.

Meskipun kondisi ini tidak menyenangkan dan membuat rumah terlihat kotor, sebaiknya orangtua tidak memarahi atau membentak si kecil. Namun beritahukan pada anak di mana seharusnya ia boleh menggambar atau mencoret-coret. Sebagai solusinya, sediakan pula sarana seperti buku gambar, kertas kosong dan crayon ukuran besar sehingga anak mudah untuk memegangnya. Bagi anak yang masih kecil, tetap dalam pengawasan agar jangan sampai crayon dimasukkan ke mulut, misalnya.

Kebiasaan mencoret-coret ini merupakan salah satu cara untuk melatih perkembangan motorik halusnya, perkembangan ini nantinya akan dibutuhkan untuk membantu anak menulis dan menggambar.

Kegiatan ini juga menjadi sarana bagi si kecil untuk mengungkapkan atau mengekspresikan dirinya, meskipun gambar yang dihasilkan terkadang tidak bisa dimengerti oleh orangtua.

Coretan yang dihasilkan oleh si kecil berbeda-beda tergantung pada usianya, yaitu:

1. Coretan acak terjadi pada usia 12-30 bulan (2,5 tahun)
Pada usia ini anak masih belajar untuk memegang pensil warna dan membuat tanda atau garis di atas kertas. Anak-anak cenderung mengalami kenikmatan kinestetik, yaitu kesenangan atau kenikmatan untuk bergerak dan membuat tanda. Coretan yang dihasilkan masih acak dan tidak teratur serta cenderung menghasilkan garis panjang sepanjang kertas atau tembok.

2. Coretan terkontrol terjadi pada usia 2,5-3 tahun
Pada usia ini anak mulai menggunakan gerakan pergelangan tangan, mengontrol coretannya dan membuat gambar yang lebih kecil. Namun coretan yang dihasilkan belum sepenuhnya bisa dimengerti orang lain, dan juga anak masih suka menggambar atau mencoret-coret tembok.

3. Coretan yang dihasilkan mulai berbentuk, terjadi pada usia 3-4,5 tahun
Anak-anak mulai memegang crayon dengan menggunakan jari serta sudah mampu membuat berbagai garis dan bentuk serta gambarnya sudah mulai bisa dimengerti. Selain itu anak-anak juga cenderung ‘mengisahkan’ atau ada cerita di balik gambar yang dibuatnya. Terkadang, Salma lebih seru cerita dari mulut mungilnya dibandingkan hasil coretannya....hehe....

4. Preskematik terjadi pada usia 4,5-7 tahun
Anak mulai menggambar simbol-simbol seperti garis yang meliuk-liuk, lingkaran, spiral, angka-angka dan sesuatu yang mulai menyerupai objek sebenarnya. Tapi anak-anak masih belajar untuk mengungkapkan sesuatu pada orang lain melalui gambarnya.

Orangtua sebaiknya tidak melarang kegiatan anaknya ini, karena banyaknya larangan yang diterima oleh si kecil akan menghambat sisi kreativitas anak untuk berani mengekspresikan dirinya. Selain itu larangan yang diberikan atau memarahinya tidak akan memberitahu anak mana yang salah dan mana yang benar.

Karena itu orangtua harus menyediakan sarana bagi anak untuk menggambar, serta memberitahu dan memberi pengertian pada anak dimana saja anak boleh menggambar dan daerah mana saja yang tidak boleh.

Memang tidak mudah dan tidak cukup sekali saja memberitahunya, untuk itu orangtua harus sabar dan mengulanginya terus, serta jangan lupa untuk memberi anak pujian jika ia berhasil menggambar di tempat yang benar.




Kecerdasan tidak selalu identik dengan faktor genetik atau keturunan. Kecerdasan bisa didapat dari berbagai hal. Mulai nutrisi (asupan gizi) yang sehat, bimbingan orang tua yang baik, juga berbagai macam permainan untuk anak.

Menjadi salah satu kebanggaan bagi
orangtua apabila memiliki anak yang cerdas. Bagi yang tidak mendapatkannya, mereka sering kali menyerah, apalagi bila para orangtua merasa kecerdasan mereka biasa-biasa saja. Mereka berpikir bahwa kecerdasan adalah sesuatu yang diturunkan secara genetik.

Mulai sekarang, ubah pemikiran Anda. Kecerdasan bisa dibentuk sejak anak masih bayi. Dari hal yang paling sederhana, bermain misalnya.
Kecerdasan apa yang dapat dikembangkan dengan permainan-permainan? Howard Gardner (1983), meyakini bahwa ada setidaknya tujuh kecerdasan yang dimiliki setiap manusia. Semua itu bisa diasah melalui permainan.

1. Kecerdasan Linguistik

Kemampuan linguistik anak mulai bisa diajarkan pada usia tiga bulan. Mulailah dengan menirukan suara-suara yang keluar dari si bayi. Seringlah mengajaknya berkomunikasi walau dia belum bicara. Menginjak usia enam bulan, mulailah membacakan cerita untuk si kecil.

Selanjutnya, ajaklah anak bermain dengan permainan yang bersuara, seperti telepon-teleponan yang bisa mengeluarkan suara, sehingga anak tertarik mendengarkan dan memainkan. Pada usia tiga tahun, kecerdasan linguistik bisa diasah dengan memberikan buku yang memiliki teks bagi anak yang sudah bisa membaca. Bacakan cerita pada anak yang lebih kecil, ajak anak menceritakan pengalamannya. Anda juga bisa mulai membiasakan si kecil menemukan simbol-simbol di sepanjang perjalanan.

2. Kecerdasan Logis-Matematis

Pada usia enam bulan, kemampuan logi-matematis sudah bisa diajarkan. Caranya, berikan beberapa benda yang sama pada anak. Misalnya bola. Lalu sambil memberikan pada anak, kita mulai menghitung "satu..dua".

Anak mulai dikenalkan pada konsep angka. Lalu menginjak usia sembilan bulan, ajari si kecil menyusun urutan balok. Di atas usia satu tahun, mulailah mengajaknya bermain puzzle sederhana (kurang dari 10 keping). Anda juga bisa mengajaknya bermain balok membentuk bangunan.

3. Kecerdasan spasial dan kinetik

Mengasah kemampuan spasial dan kinetik bahkan bisa dilakukan sejak bayi. Perdengarkan sumber suara, misalnya kerincingan, suara ibu atau ayah. Biarkan bayi mencari sumber suara. Semakin bertambah usia, semakin variatif juga metode permainannya.

Menginjak usia enam bulan, Anda bisa mengajaknya bermain dengan benda bergerak. Berikan mainan yang bisa bergerak, seperti mobil-mobilan. Jalankan mobil tersebut, biarkan bayi Anda bergerak mengikuti arah mobil.

Anda bisa memberikan wadah berisi biskuit kecil untuk anak yang lebih besar dan sudah tumbuh gigi. Biarkan anak untuk mencoba mengambil dan belajar memasukkan ke mulut. Anak yang sudah diberikan makanan pendamping ASI dan sudah mulai bisa duduk, ada baiknya juga didudukkan
di kursi makan bayi (high chair), sehingga bisa belajar duduk baik.

4. Kecerdasan Musikal

Kecerdasan yang satu ini juga bisa mulai diberikan sejak bayi lahir. Perdengarkan musik bagi bayi Anda. Bunyi-bunyian yang memiliki ritme tetap, juga akan membantu anak untuk belajar memahami bunyi. Pada tahap selanjutnya, asah kemampuan musik si kecil dengan memperdengarkan
musik atau lagu-lagu.

5. Kecerdasan Interpersonal

Biasanya memasuki usia enam bulan, kemampuan interpersonal seorang anak sudah mulai tumbuh. Ajari si kecil melambaikan tangan, "gimme five", dan bersalaman untuk merangsang anak menciptakan interaksi dengan orang lain. Ajaklah anak bermain di taman dekat rumah. Biarkan dia mulai mengenal orang lain di luar keluarga. Menginjak usia satu tahun, Anda bisa mengajak si kecil bermain peran. Bermain dengan teman sebaya juga sangat bermanfaat untuk mengasah kemampuan interpersonal.

6. Kecerdasan Intrapersonal

Kecerdasan ini bisa mulai dilatih pada anak mulai usia enam bulan dengan cara memanggil namanya. Biarkan dia memahami bahwa itu adalah namanya, dan tunggu sampai dia memberikan respons, misalnya dengan menoleh ke arah pemanggil. Kemudian, ajak si kecil menggambar untuk mengekspresikan diri dan mengembangkan imajinasi. Dari gambar yang dia buat, si kecil bisa melihat harapan ataupun emosi yang saat itu sedang dominan padanya.

7. Kecerdasan Naturalis

Cara mengasah kecerdasan ini juga bisa dilakukan melalui cara yang menyenangkan. Bawa anak ke halaman rumah, perkenalkan dengan binatang piaraan, perkenalkan dengan tanaman dan pohon-pohon. Lihat reaksinya. Seiring usia yang bertambah besar, ajak anak untuk memelihara binatang, tentu yang tidak berbahaya. Ajak juga si kecil bertanam atau merawat tanaman.




Membaca judul diatas, jangan terus berpikir anak yang cukup tidurnya terus jadi cerdas ya? Memang tidak ada pengaruh langsung antara tidur dengan kecerdasan anak. Maksudnya, tidur anak yang cukup tidak lantas membuat anak jadi cerdas. Yang benar adalah, ketika anak cukup tidur akan membuat phisik dan mental anak menjadi lebih kondusif. Nah, kondisi inilah yang sangat berpengaruh pada kecerdasan anak.

Tidur merupakan aktifitas alami untuk pemulihan stamina. Tidur juga diyakini membawa pengaruh pada perkembangan kesehatan jiwa orang yang bersangkutan. Bahkan, kualitas tidur memiliki peran penting pada kondisi perkembangan kesehatan jiwa anak. Disamping itu juga dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuhnya.

Coba perhatikan si kecil! Ketika si kecil
letih/lelah, energinya mulai berkurang setelah beraktifitas, anak akan menjadi rewel bukan? Dengan kondisi/keadaan seperti ini, anak tidak akan konsentrasi dalam beraktifitas. Inilah saat yang tepat bagi si kecil untuk tidur. Setelah tidurnya cukup, anak akan segar, kembali beraktifitas, mengeksplorasi dengan segala kegiatannya, juga belajar dari sekitarnya. Jadi bisa disimpulkan, bahwa tidur sangat mendukung perkembangan kecerdasan anak.

Berdasarkan penelitian, selama tidur semua sel tubuh, termasuk sel otot, hati, ginjal, tulang sumsum, dan sel otak, mengalami pemulihan. Bermodalkan tubuh yang bugar inilah anak diasumsikan akan lebih semangat melakukan sesuatu. Apalagi didukung oleh
otak yang berfungsi dengan baik. Selain itu, hormon-hormon pun lebih aktif diproduksi ketika tidur. Hal ini penting untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi kerja otak dan melancarkan pengangkutan asam amino dari darah ke otak. Dengan demikian, sel-sel saraf semakin berkemungkinan memiliki pengetahuan yang permanen sifatnya.

Penelitian yang dilansir di London pada 1998 mengungkapkan bahwa bayi yang banyak tidur, perkembangan otaknya akan optimal. Karena aktivitas tidur merupakan salah satu stimulus bagi proses tumbuh kembang otak. Hal ini bisa dimengerti karena 75 persen hormon pertumbuhan diproduksi saat anak tidur. Hormon pertumbuhan inilah yang bertugas merangsang pertumbuhan tulang dan jaringan. Selain itu, hormon pertumbuhan juga memungkinkan tubuh memperbaiki dan memperbarui seluruh sel dalam tubuh, dari sel kulit, sel darah, sampai sel saraf otak. Nah, proses pembaruan sel ini akan berlangsung lebih cepat kalau si bayi sering terlelap.

Secara garis besar, bayi jadi lebih cerdas apabila kebutuhan tidurnya tercukupi. Jadi, ketika si kecil
tidur pulas, hendaknya jangan diganggu jika ingin anak tumbuh cerdas.

Bukan hanya untuk si kecil yang masih bayi, untuk anak usia sekolahpun apabila
kelelahan maka aktifitasnya akan terganggu. Misalnya ketika pulang sekolah banyak PR yang harus dikerjakan, ketika anak lelah/capai, sebaiknya segera arahkan agar anak beristirahat, setelah tidur/istirahat yang cukup maka anak akan segar dan bisa kembali beraktifitas. Daripada dipaksakan belajar tapi tidak konsentrasi atau tidak maksimal hasilnya.

Perlu diingat, bukan hanya tidur yang cukup lalu bisa  membuat anak jadi cerdas loh!
Semoga bermanfaat!





Kita sebagai orang tua, kadang menuntut anak agar bisa berada pada keadaan tertentu yang sesuai dengan harapan kita. Atau aku ingin anakku jadi seperti ini, misalnya.

Ada beberapa hal yang kita lakukan itu justru menghambat kemampuan si kecil, misalnya jika Anda bersikap:
  • Selalu memutuskan sesuatu tanpa memberinya dorongan untuk melakukan hal itu sendiri.
  • Senantiasa memberinya pilihan-pilihan atau mengarahkan pilihan/putusan.
  • Selalu cemas atau mengkhawatirkan si kecil tak bisa membuat keputusan yang baik/benar.

Ketika Anda tak pernah mendidiknya agar ia memiliki kemampuan membuat keputusan, maka kemungkinan besar akan ada masalah yang Anda hadapi lagi. Misalnya, Anda cenderung kelewat ingin segalanya serba sempurna atau terlalu perduli dengan anggapan orang lain terhadap diri Anda. Anda takut anak Anda kecewa atau sedih jika membuat keputusan yang kurang tepat, Anda khawatir anak akan marah jika tak mendapatkan apa yang diinginkannya.

Dengan begitu, Anda telah gagal mengarahkannya sehingga merasa tidak yakin dengan putusan yang dibuat anak. Ingatlah selalu, tak seorangpun luput dari kesalahan dan dari kesalahan-kesalahan yang dibuatnya atau kesalahan masa lalu kita bisa belajar, kita bisa mengoreksi mana yang salah, mana yang masih harus dibenahi.

Senantiasa
mengarahkan dan menunjukkan, apakah keputusan yang dibuat anak itu salah atau benar. Dari sini anak akan belajar mana yang benar dan salah. Berikanlah selalu contoh yang baik sehingga dapat diteladani oleh anak.

Hargailah pilihan anak agar ia merasa dipercaya. Kalaupun pilihannya kurang tepat, jangan buru-buru menghakiminya, menyalahkannya atau mengambil alih putusan. Beri ia gambaran tentang apa yang seharusnya ia kerjakan. Dengan demikian anak akan merasa dihargai dan tahu apa yang seharusnya ia lakukan.





Orang Tua, Guru Pertama dan Utama

Setiap anak dilahirkan kedunia ini dalam keadaan fitrah, artinya manusia lahir membawa fitrah beragama dan potensi berbuat baik. Fitrah inilah yang membedakan antara manusia dan makhluk Allah lainnya. Fitrah dan potensi yang sudah ada semenjak dilahirkan itu tidak akan berkembang secara optimal tanpa adanya pemeliharaan dan bimbingan.

Bimbingan untuk pengembangan fitrah dan potensi yang masih berupa bibit atau benih itu dapat melalui proses pendidikan. Seorang anak harus dipandu dan diarahkan agar mereka tidak menyimpang dari fitrah dan potensinya yang sudah mereka bawa semenjak lahir dengan memberikan pendidikan.

Kegiatan dan proses pendidikan dapat terjadi dalam tiga lingkungan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiga lingkungan ini harus bekerja sama dan saling mendukung untuk hasil yang maksimal dalam membentuk kepribadian seorang anak yang baik dan sholeh.

Lingkungan pertama yang punya peran adalah lingkungan keluarga, disinilah anak dilahirkan,di rawat dan dibesarkan. Disinilah proses pendidikan berawal, orang tua adalah guru pertama dan utama bagi anak. Orang tua adalah guru agama, bahasa dan sosial pertama bagi anak, kenapa demikian? Karena orang tua (ayah) adalah orang yang pertama kali melafazdkan adzan dan iqomah ditelinga anak di awal kelahirannya. Orang tua adalah orang yang pertama kali mengajarkan anak berbahasa dengan mengajari anak mengucapkan kata ayah, ibu, nenek, kakek dan anggota keluarga lainnya. Orang tua adalah orang yang pertama mengajarkan anak bersosial dengan lingkungan sekitarnya.

Orang tua, ibu khususnya karena seorang ibu yang biasanya punya banyak waktu bersama anak dirumah, bisa menjadi guru yang baik bagi anak-anaknya, jika seorang ibu mampu mengarahkan, membimbing dan mengembangkan fitrah dan potensi anak secara maksimal pada tahun-tahun pertama kelahiran anak dimana anak belum disentuh oleh lingkungan lain, dalam artian anak masih suci.

Masa-masa anak hanya berinteraksi dengan anggota keluarga, ini adalah saat yang tepat bagi orang tua untuk membentuk karakter seorang anak. Orang tualah yang mengarahkan kehidupan anak dengan kebiasaan yang dilakukan sehari-hari dirumah yang merupakan teladan bagi anak.

Disadari atau tidak oleh orang tua, gerak-gerik dan tingkah laku mereka sehari-hari yang setiap waktu bahkan setiap saat dilihat, dirasakan dan di dengar oleh anak adalah proses belajar bagi mereka.

Kalau materi yang sering diterima anak baik, sebuah keluarga yang harmonis, hubungan yang hangat dan penuh kasih sayang, secara otomatis unsur-unsur kebaikan itu akan tertransfer kedalam diri anak, disaat itu bisa dikatakan orang tua telah berhasil menjadi seorang guru yang baik bagi anaknya. Namun jika materi yang sering diterima anak tidak baik, seperti kekerasan dalam rumah tangga, perhatian dan kasih sayang yang kurang karena orang tua sibuk dengan urusan masing-masing, ucapan-ucapan yang tidak baik, disaat itu orang tua telah gagal menjadi guru pertama dan utama bagi anak.

Proses kehidupan dalam sebuah keluarga adalah proses belajar pertama bagi anak sebelum mereka hidup dalam lingkungan yang lebih luas yaitu sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu seharusnya setiap orang tua harus mampu memanfaatkan masa-masa ini untuk mengembangkan potensi anak untuk membentuk pribadi yang sempurna.

Setiap oarng tua selalu mengatakan dan berharap punya anak yang baik dan sholeh. Jadi untuk mewujudkan keinginan dan harapan itu, jadilah orang tua sekaligus guru bagi anak dirumah, dengan menyajikan materi-materi yang mereka butuhkan yaitu suasana yang tenang tanpa pertengkaran dan kekerasan, kasih sayang dan perhatian yang cukup dari sosok seorang ibu dan ayah (jadilah ayah dan ibu ideal bagi anak-anak Anda).

Selanjutnya agar fitrah dan potensi anak semakin berkembang dan terarah, yang mungkin dalam hal ini orang tua punya keterbatasan, anak mendapatkan bimbingan dan arahan dari guru disekolah sebagai lembaga pendidikan secara formal. Disini anak di didik dan dibimbing oleh seorang guru, dan anak berinteraksi dengan teman sebaya.

Di sekolah terlihat hasil dari pola asuh orang tua dirumah sebelum anak terjun kelingkungan sekolah. Ada anak yang baik dan punya sopan santun, dan ada juga yang terbiasa berkata tidak sopan dan banyak lagi macam karakter-karakter anak yang lain. Semua model karakter anak tersebut adalah hasil dari didikan orang tua dirumah.

Sesuatu yang ditanamkan dan dibiasakan oleh orang tua sebagai dasar karakter anak itulah yang kelihatan dalam diri anak pada tahap berikutnya. Perbedaan-perbedaan ini bisa terlihat ketika anak-anak berkumpul dan bergabung jadi satu, disanalah terlihat bermacam-macam kepribadian dan karakter mereka.

Tugas guru disini membantu orang tua untuk membimbing dan mengembangkan potensi anak agar lebih terarah. Sekali lagi sifatnya hanya membantu, semaksimal apapun usaha yang dilakukan seorang guru tanpa bantuan dari orang tua hasilnya sia-sia. Karena waktu guru bersama anak dan orang tua bersama anak berbanding 25% dan 75%. Anak lebih kurang hanya punya waktu 25% perhari bersama guru disekolah, sisanya 75% lagi anak menghabiskan waktu bersama orang tua dirumah. Lagi pula saat anak berada disekolah, seorang guru tidak akan mampu memperhatikan anak didiknya satu persatu yang kadang jumlahnya melebihi kapasitas, dan dalam masalah ini guru tidak punya wewenang apa-apa, guru hanya menjalankan tugas mengajar dan menjadi seorang pendidik.

Intinya walaupun anak sudah diserahkan kesekolah bukan berarti urusan pendidikan anak adalah tanggung jawab sekolah dan orang tua lepas tangan dan melalaikan pendidikan anak. Yang harus dilakukan adalah orang tua menjalin kerja sama dan komunikasi yang baik dengan pihak sekolah atau guru, agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam mendidik anak.

Setelah orang tua dibantu oleh guru disekolah, selanjutnya anak akan masuk pada lingkungan sosial yaitu masyarakat. Kematangan anak untuk masuk pada lingkungan masyarakat tidak terlepas dari peran orang tua. Tentunya orang tua telah mempersiapkan anaknya untuk memasuki lingkungan masayarakat, disekolah juga anak telah belajar hidup bersosial dengan adanya interaksi antara anak yang satu dengan yang lainnya. Pelajaran yang diperoleh anak dari orang tua dan guru menjadi bekal bagi anak untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial yang lebih luas.

Tugas lingkungan masyarakat adalah memelihara dan melestarikan apa yang sudah dimiliki anak, dengan cara menciptakan lingkungan masyarakat yang sehat dan bebas dari penyimpangan-penyimpangan yang bisa merusak jiwa anak. Usaha ini masih titik awalnya berasal dari setiap orang tua, karena masyarakat itu merupakan gabungan dari satu keluarga dengan keluarga lainnya. Apabila setiap orang tua yang ada disatu lingkungan yang disebut masyarakat sudah melaksanakan kewajiban, tugas dan tanggung jawab masing-masing pada anaknya niscaya akan tercipta lingkungan yang baik dan sehat selanjutnya anak juga akan berkembang dengan baik dan sempurna.

Dari uraian di atas terlihat jelas bahwa titik awal dari pembentukan kepribadian seorang anak dan masyarakat adalah orang tua. Seandainya setiap orang tua menyadari tugas dan tanggung jawabnya serta mampu menjadi guru pertama bagi anak-anaknya, mungkin akan terlahir generasi muda yang punya kepribadian tangguh dan anak-anak sholeh.

Untuk menyudahi catatan kecil ini saya kutip arti sebuah hadits yang sudah tidah asing lagi dan sudah sering didengar, mudah-Mudahan bisa menjadi bahan renungan bagi kita semua

Abu hurairah ra. menceritakan, bahwa Nabi saw pernah bersabda: "Tidak ada seorang anakpun yang lahir kedunia ini kecuali dalam keadaan fitrah. Maka orang tuanya lah yang menjadikannya yahudi, majusi dan nasrani." (HR. Bukhori).






Stimulasi Perkembangan Anak

Stimulasi adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk merangsang kemampuan dasar anak agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Stimulasi tumbuh kembang anak dapat dilakukan oleh setiap orang yang berinteraksi dengan anak, mulai dari ibu, ayah, pengasuh anak, anggota keluarga lain dan kelompok masyarakat di lingkungan rumah tangga masing-masing dan dalam kehidupan sehari-hari.

Setiap anak perlu mendapat stimulasi rutin sedini mungkin dan terus menerus pada setiap kesempatan. Kurangnya stimulasi dapat menyebabkan penyimpangan tumbuh kembang anak bahkan gangguan yang menetap.

Kemampuan dasar anak yang dirangsang dengan stimulasi terarah meliputi setiap aspek perkembangan, yaitu:

1. kemampuan motorik / gerak kasar
2. kemampuan motorik / gerak halus
3. kemampuan bicara dan bahasa, serta
4. kemampuan sosialisasi dan kemandirian

Dalam melakukan stimulasi tumbuh kembang anak, ada beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan, yaitu:

1. Stimulasi dilakukan dengan dilandasi rasa cinta dan kasih sayang.
2. Selalu tunjukkan sikap dan perilaku yang baik karena anak akan meniru tingkah laku orang-orang yang terdekat dengannya.
3. Berikan stimulasi sesuai dengan kelompok umur anak.
4. Lakukan stimulasi dengan cara mengajak anak bermain, bernyanyi, bervariasi, menyenangkan, tanpa paksaan dan tidak ada hukuman.
5. Lakukan stimulasi secara bertahap dan berkelanjutan sesuai umur anak, terhadap keempat aspek kemampuan dasar anak.
6. Gunakan alat bantu/permainan yang sederhana, aman dan ada di sekitar anak.
7. Berikan kesempatan yang sama pada anak laki-laki dan perempuan.
8. Anak selalu diberi pujian, bila perlu diberi hadiah atas keberhasilannya.

Empat aspek perkembangan yang dipantau

1. Gerak kasar atau motorik kasar
adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak melakukan pergerakan dan sikap tubuh yang melibatkan otot-otot besar seperti duduk, berdiri, dan sebagainya.

2. Gerak halus atau motorik halus
adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu dan dilakukan oleh otot-otot kecil, tetapi memerlukan koordinasi yang cermat seperti mengamati sesuatu, menjumput, menulis, dan sebagainya.

3. Kemampuan bicara dan bahasa
adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan untuk memberikan respon terhadap suara, berbicara, berkomunikasi, mengikuti perintah dan sebagainya.

4. Sosialisasi dan kemandirian
adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri anak (makan sendiri, membereskan mainan setelah bermain), berpisah dengan ibu / pengasuh anak, bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya, dan sebagainya.

sumber: klikdokter[dot]com

Dengan memberikan stimulasi yang tepat dan terarah kepada anak-anak, diharapkan anak-anak akan tumbuh dan berkembang secara optimal. Selain sebagai orang tua bagi anak-anak, adakalanya diperlukan juga orang tua berperan sebagai teman bagi mereka. Sehingga anak-anak akan dekat dengan orang tuanya.






Lima Cara Merangsang Anak Belajar

Bagaimana anak-anak Anda belajar? Menunjukkan semangat/antusias atau malah sebaliknya?
Kadang kita melihat, ada sebagian anak tampak senang sekali dengan situasi sekolahnya. Anak-anak ini seakan memiliki otak seperti sebuah spons, menyerap apa saja yang terjadi di lingkungannya dengan antusias. Anak-anak seperti ini biasanya menunjukkan prestasi belajar yang baik nantinya.

Namun sebagian lain dari anak-anak tersebut tampak menunjukkan sikap negatif terhadap sekolah. Mereka tampak enggan melakukan berbagai kegiatan. Atau malah suka menyendiri daripada bergabung bersama teman-temannya. Jika demikian, bagaimana mengharapkan anak-anak ini berprestasi kelak? Mengapa hal ini terjadi mengingat kedua kelompok anak-anak ini memiliki kemampuan yang kurang lebih sama?

Yang sering terjadi kemudian, orang tua lalu menyalahkan guru dan sekolah karena rendahnya motivasi anak-anak mereka untuk belajar. Padahal, menurut Dr. Sylvia Rimm dalam bukunya Smart Parenting , How to Raise a Happy Achieving Child , orang tua memiliki pengaruh positif yang sangat besar terhadap pendidikan anak-anaknya. Tidak hanya ketika anak masih kecil, namun juga sepanjang hidupnya.

Berikut ini beberapa kiat/cara yang dapat diterapkan sejak dini untuk membantu meningkatkan keinginan si kecil belajar dan berprestasi di sekolahnya kelak. Tentu saja tidak dengan cara memaksa maupun menuntut, namun lebih pada berbagai arahan dan dukungan yang membuat anak merasa nyaman berkegiatan.

1. Menciptakan rutinitas

Rutinitas membantu anak mandiri menjalani hari-harinya. Bayangkan jika sejak si kecil bangun pagi hingga malam hari ketika hendak tidur tergantung pada orang-orang dewasa di sekitarnya untuk mengarahkannya dari satu aktivitas ke aktivitas yang lain. Anak-anak ini akan memiliki perasaan negatif terhadap dirinya, dan belajar bahwa orang lain akan selalu mengambil tanggung jawab dirinya. Dengan begitu, jangan heran, jika suatu saat Anda terganggu oleh ketergantungan anak pada Anda dalam menjalani berbagai aktivitas sehari-hari.

Karenanya, ciptakan rutinitas sejak dini dengan membiarkan si kecil melakukan sendiri kegiatan rutinnya. Buatlah jadwal rutinitas yang harus dilakukan anak. Misalnya, bangun tidur, diikuti dengan membersihkan tempat tidur, menggosok gigi lalu sarapan bersama-sama Anda. Jika si kecil belum bisa membaca jadwalnya, buatlah gambar aktivitasnya secara berurutan sehingga mudah dipahami dan diikutinya. Tentu saja penjadwalan rutinitas ini dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dan usia anak.

2. Pembiasaan belajar

Anak usia prasekolah memang belum memiliki beban akademis yang mengharuskannya belajar pada waktu-waktu tertentu di rumah. Namun tidak ada salahnya Anda membiasakan anak duduk di meja belajar yang disediakan baginya pada saat yang sama setiap harinya, dan untuk jangka waktu yang sama pula.

Pada saat itu ajaklah si kecil melihat-lihat buku ceritanya, atau menggambar kurang lebih selama beberapa menit. Misalnya, setiap sore jam 16.00, selama beberapa menit (lebih kurang 5 menit). Cara ini membuat anak terbiasa mengerjakan pekerjaannya di atas meja yang disediakan untuknya.

Ide untuk membiasakan si kecil duduk di meja belajarnya pada saat yang sama dan jangka waktu yang sama setiap harinya didapat dari seorang ahli ilmu faal bernama Ivan Pavlov . Pavlov menemukan hukum clasical conditioning, di mana jika ada dua stimuli dihubungkan, maka stimuli kedua akan menghasilkan respons yang sama dengan stimuli pertama.

3. Meningkatkan komunikasi

Komunikasi yang baik merupakan prioritas utama dari semua kebiasaan yang dapat meningkatkan keinginan anak berprestasi. Sementara, gaya hidup di perkotaan yang sibuk membuat waktu untuk berkomunikasi dengan anak sangat terbatas. Orang tua perlu menjadwalkan waktu khusus untuk bercakap-cakap dengan anak setiap hari. Misalnya saat minum teh di sore hari, atau makan malam bersama keluarga. Yang terpenting, matikan TV atau singkirkan hal-hal yang mungkin mengganggu komunikasi Anda dengan si kecil.

Mendengar adalah salah satu bagian penting dalam komunikasi. Jika orang tua terbiasa mendengar anaknya berbicara, maka anak juga akan mendengar jika Anda berbicara. Menurut Dr. Rimm, jika orang tua memiliki kebiasaan bercakap-cakap secara teratur setiap harinya, anak akan lebih terbuka kelak ketika memasuki usia remaja. Keadaan ini diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan belajar pada anak kelak, karena keengganan anak untuk berprestasi ( underachievement ), biasanya merupakan efek lanjutan dari komunikasi yang buruk antara orang tua dan anak.

4. Bermain dan permainan

Bermain merupakan sarana utama bagi anak untuk belajar berbagai hal. Sedangkan permainan atau games biasanya merupakan latihan yang baik untuk menghadapi kompetisi yang sesungguhnya di dunia luar. Manfaat mainan dan permainan, antara lain, meningkatkan imajinasi dan pelampiasan emosi. Misalnya, dengan permainan boneka dan bermain peran. Selain itu, sambil bermain anak bisa belajar keterampilan spesial atau konsep angka. Misalnya, dengan bermain balok kartu atau puzzle .

Cobalah bersenang-senang bersama dengan menciptakan berbagai permainan dengan anak. Seimbangkan antara permainan di dalam rumah dan di luar rumah yang menghasilkan manfaat berbeda.

5. Menjadi model bagi anak

Anak akan meniru perilaku orang dewasa di sekitarnya. Mereka menjadikan Anda, orang tuanya, sebagai model yang patut diikuti. Namun, tentu saja si kecil hanya akan meniru perilaku yang terlihat olehnya. Ia tidak mungkin meniru perilaku gila kerja yang mungkin Anda miliki, misalnya, sebab ia tidak melihatnya langsung.

Karenanya, mengapa tidak menerangkan kepadanya apa yang Anda kerjakan di tempat bekerja? Daripada hanya mengeluhkan pekerjaan setiap Anda pulang bekerja, lebih baik Anda mulai menunjukkan pada si kecil bahwa Anda sangat menyukai apa pun yang Anda kerjakan. Karena, jika tidak, si kecil akan meniru perilaku Anda yang gemar mengeluhkan pekerjaan. Bukan tidak mungkin jika nantinya si kecil akan sering mengeluhkan pelajaran maupun guru-guru di sekolahnya jika Anda tidak segera mengubah sikap.







Mendeteksi Kebencian Anak Pada Guru

Waduh judulnya kok serem ya? Jangan sampai anak-anak benci kepada gurunya. Kalau sampai timbul rasa benci kepada gurunya, sudah pasti dampaknya akan sangat banyak. Misalnya anak akan malas belajar, malas pergi sekolah, malas ketemu gurunya, malas mengikuti pelajarannya, malas mengerjakan tugas-tugas yang diberikan. Yang pada akhirnya anak menjadi tidak berprestasi, tinggal kelas atau malah turun grade/turun kelas. Sekarang di Indonesia ada peraturan ini atau tidak, apabila seorang murid dalam keadaan tertentu maka harus turun kelas?

Nah berikut ini ada beberapa hal yang dapat orangtua (aku juga termasuk) lakukan untuk mendeteksi atau mengatasi ketidaksukaan anak pada guru tertentu, seperti tips berikut ini:

* Biasakan untuk berdiskusi dengan anak sejak dini. Dengan begitu kita bisa mendeteksi gejalanya. Selain menjadikan anak dekat dengan orang tua, juga membiasakan anak untuk bersikap terbuka pada orang tuanya.

* Usahakan untuk kreatif berbicara mengenai pengalaman anak pada hari itu. Saat berkumpul dengan anak-anak, tanyakan bagaimana pengalamannya hari itu, apa saja yang diberikan oleh guru dan sebagainya.

* Dengarkan dengan seksama, usahakan tidak memotong pembicaraannya. Sebab, saat orang tua fokus mendengarkan, anak akan merasa dihargai dan akhirnya akan merasa nyaman untuk selalu berbagi pengalaman.

* Bila ada keluhan anak tentang guru tertentu, sebaiknya tidak menyalahkannya. Coba gali lebih dalam apa permasalahannya dan berikan penyelesaian.

* Selesaikan masalah sesegera mungkin. Hindari sampai berlarut-larut karena bisa berakibat merosotnya prestasi belajar anak. Apabila diperlukan, ceritakan masalah ini kepada guru yang bersangkutan, ke depannya mungkin ada perubahan cara mengajarnya.

Eh, seorang guru akan marah tidak ya seandainya ada kritikan dari orang tua murid? Perlu cara penyampaian yang bijaksana ya. Semoga, langkah kedepan akan lebih baik, bermanfaat juga buat semua murid, bukan hanya murid yang bermasalah saja. Karena kemungkinan ada anak/murid yang merasakan hal yang sama, tetapi tidak berterus terang kepada orang tuanya. Dan orang tuanya mengira bahwa semua baik-baik saja.

Usahakan dirumah tercipta suasana yang enak agar anak suka belajar, jaga jangan sampai anak-anak terlalu lelah (karena hal ini juga mempengaruhi anak dalam belajar), yang pada akhirnya diharapkan prestasi anak-anak akan semakin baik lagi.






Kiat Memahami Anak

Setiap orang tua tentu berkeinginan agar anak-anaknya kelak tumbuh menjadi anak yang sehat, anak yang cerdas, anak yang kreatif, anak yang mandiri, anak yang sholeh/sholehah, anak yang bertaqwa. Dan mungkin masih banyak harapan-harapan lainnya sebagai orang tua.Semua yang orang tua lakukan semata-mata untuk kebaikan anak-anaknya, dan dunia anak-anak tentu berbeda dengan dunia kita, dunia orang dewasa. Anak-anak memiliki pribadi yang unik. Berikut ini kiat memahami anak-anak yang perlu kita ketahui, yaitu:

1. Dunia anak, dunia bermain.
Dunia anak-anak adalah dunia bermain, hampir semua kegiatannya adalah bermain. Bermain sambil belajar (belajar sambil bermain), mengeksprolasi benda-benda yang ada di sekitar mereka merupakan kegiatan yang menyenangkan. Arahkan pada permainan yang merangsang pertumbuhan otak dan phisiknya. Perhatikan dalam memilih mainan untuk anak-anak ataupun memilih permainan anak.

2. Suka meniru.
Entah kita sadar atau tidak, apa yang kita ucapkan, kita lakukan, tentu akan ditiru anak-anak. Makanya kita sebagai orang tua harus memberikan contoh yang baik pada anak-anak. Anak-anak adalah cermin orang tuanya. Tapi bukan hanya dari orang tua saja, anak-anak akan meniru dari lingkungan sekitar atau media lain seperti televisi. Orang tua harus selektif dalam hal ini.

3. Masih berkembang.
Anak-anak masih berkembang baik secara fisik maupun phikis. Dengan melalui beberapa tahap, akan membentuk kepribadian anak itu sendiri.

4. Anak-anak tetaplah anak-anak.
Mereka belum dewasa, maka jangan dibandingkan dengan orang dewasa. Baik dari pola pikirnya, apalagi dari phisiknya.

5. Kreatif.
Selain tumbuh dan berkembang, anak-anak adalah pribadi yang kreatif, suka bertanya, rasa ingin tahu yang tinggi, suka berimajinasi. Kalau anak bertanya tentang sesuatu, jawablah sesuai usia anak. Penjelasan yang berbelit-belit akan susah diterima anak. Sampaikanlah dengan bahasa anak-anak, bahasa yang mudah di mengerti, sesuai kemampuan mereka dalam menerima informasi baru.

Salma (2 tahun), yang sedang asyik bermain balok susun, tiba-tiba langsung berdiri, terus naik ke atas kursi. Pandangan matanya ke arah jendela, mulutnya berbicara pelan, sambil tangannya bergerak ke kanan dan ke kiri. Ternyata dia bicara sama seekor burung yang hinggap di jendela. Kalau kita orang dewasa, melihat burung hinggap di jendela merupakan hal yang biasa. Tapi bagi anak-anak hal itu menarik perhatiannya, menimbulkan rasa ingin tahu, burungnya sedang apa di jendela, ada berapa ekor dan sebagainya. Dan juga si anak akan mengenal suaranya, bahwa suara burung itu cuit-cuit, belajar bicara, menambah kosa katanya.

Kadang kita merasa tingkah mereka lucu, tapi itulah dunia mereka, dunia anak-anak. Kita sebagai orang tua harus memahami kreatifitas anak-anak dan mengarahkannya ke hal-hal yang positif.





Membuat Anak Suka Belajar

Sebagai orang tua tentu mengharapkan yang terbaik bagi putra putrinya.
Berikut ini tips yang sangat menentukan dan efektif agar anak fokus/suka belajar:

1. Suasana yang menyenangkan adalah syarat mutlak yang diperlukan agar anak suka belajar. Menurut hasil penelitian tentang cara kerja otak, bagian pengendali memori di dalam otak akan sangat mudah menerima dan merekam informasi yang masuk jika berada dalam suasana yang menyenangkan.

2. Membuat anak senang belajar adalah jauh lebih penting daripada menuntut anak mau belajar supaya menjadi juara atau mencapai prestasi tertentu. Anak yang punya prestasi tapi diperoleh dengan terpaksa tidak akan bertahan lama. Anak yang bisa merasakan bahwa belajar adalah sesuatu yang menyenangkan akan mempunyai rasa ingin tahu yang besar, dan sangat mempengaruhi kesuksesan belajarnya di masa yang akan datang.

3. Kenali tipe dominan cara belajar anak, apakah tipe AUDITORY (anak mudah menerima pelajaran dengan cara mendengarkan), VISUAL (melihat) ataukah KINESTHETIC (fisik). Meminta anak secara terus menerus belajar dengan cara yang tidak sesuai dengan tipe cara belajar anak nantinya akan membuat anak tidak mampu secara maksimal menyerap isi pelajaran, sehingga anak tidak berkembang dengan maksimal.

4. Belajar dengan jeda waktu istirahat setiap 20 menit akan jauh lebih efektif daripada belajar langsung 1 jam tanpa istirahat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak mampu melakukan konsentrasi penuh paling lama 20 menit. Lebih dari itu anak akan mulai menurun daya konsentrasinya. Jeda waktu istirahat 1-2 menit akan mengembalikan daya konsentrasi anak kembali seperti semula.

5. Anak pada dasarnya mempunyai naluri ingin mempelajari segala hal yang ada di sekitarnya. Anak akan menjadi sangat antusias dan semangat untuk belajar jika isi/materi yang dipelajari anak sesuai dengan perkembangan anak. Anak akan menjadi mudah bosan jika yang dipelajari terlalu mudah baginya, dan sebaliknya anak akan menjadi stress dan patah semangat jika yang dipelajari terlalu sulit.






Berbagai Gaya Orang Tua

Kondisi ketidakpatutan dalam memperlakukan anak telah melahirkan berbagai gaya orang tua (Parenting Style) yang melakukan kesalahan 'miseducation" terhadap pengasuhan pendidikan anak-anaknya.
Elkind (1989) mengelompokkan berbagai gaya orang tua dalam mengasuh anak, antara lain:

1. Gourment Parents (ortu borju)

Mereka adalah kelompok pasangan muda yang sukses. Memiliki rumah bagus, mobil mewah, liburan ke tempat-tempat eksotis di dunia, dengan gaya hidup kebarat-baratan. Apabila menjadi orang tua maka mereka akan cenderung merawat anak-anaknya seperti halnya merawat karir dan harta mereka. Penuh dengan ambisi! Berbagai macam buku akan dibaca karena ingin tahu isu-isu mutakhir tentang cara mengasuh anak. Mereka sangat percaya bahwa tugas pengasuhan yang baik seperti halnya membangun karier, maka superkids merupakan bukti dari kehebatan mereka sebagai orang tua.
Orang tua kelompok ini memakaikan anak-anaknya baju-baju yang mahal bermerk terkenal, memasukannya ke dalam program-program ekslusif yang prestisius. Keluar masuk restoran mahal. Usia 3 tahun anak-anaknya sudah diajak tamasya keliling dunia mendampingi orang tuanya. Jika suatu saat kita melihat sebuah sekolah yang halaman parkirnya dipenuhi oleh berbagai merk mobil terkenal, maka itulah sekolah dimana banyak kelompok orang tua gourment menyekolahkan anaknya.

2. College Degree Parents (ortu intelek)

Kelompok ini merupakan bentuk lain dari keluarga intelek yang menengah keatas. Mereka sangat peduli dengan pendidikan anak-anaknya. Sering melibatkan diri dalam berbagai kegiatan di sekolah anaknya. Mereka percaya pendidikan yang baik merupakan pondasi dari kesuksesan bidup. Terkadang mereka juga tergiur menjadikan anak-anak mereka superkids. Terkadang mereka juga memasukkan anak-anak mereka ke sekolah mahal yang prestisius sebagai bukti bahwa mereka mampu dan percaya bahwa pendidikan yang baik tentu juga harus dibayar dengan pantas. Kelebihan kelompok ini adalah sangat peduli dan kritis terhadap kurikulum yang dilaksanakan di sekolah anak-anaknya. Dan dalam banyak hal mereka banyak membantu dan peduli dengan kondisi sekolah.

3. Gold Medal Parents (ortu selebritis)

Kelompok ini adalah kelompok orang tua yang maenginginkan anak-anaknya menjadi kompetitor dalam berbagai gelanggang. Mereka sering mengikutkan anaknya ke berbagai kompetisi dan gelanggang. Ada gelanggang ilmu pengetahuan seperti Olimpiade Matematika dan sains. Ada juga gelanggang seni seperti ikut menyanyi, kontes menari, terkadang kontes kecantikan. Berbagai cara akan mereka tempuh agar anak-anaknya dapat meraih kemenangan dan menjadi 'seorang bintang sejati'. Sejak dini mereka persiapkan anak-anaknya menjadi Sang Juara.
Banyak kasus yang mengenaskan menimpa diri anak akibat perilaku ambisi kelompok gold medal parents ini. Gold medal parents menimbulkan banyak bencana bagi anak-anak mereka!

4. Do it Yourself Parents

Merupakan kelompok orang tua yang mengasuh anak-anaknya secara alami dan menyatu dengan semesta. Mereka sering menjadi pelayan profesional di bidang sosial dan ibadah. Kelompok ini menyekolahkan anak-anaknya di sekolah negeri yang tidak begitu mahal dan sesuai dengan keuangan mereka. Mereka juga bermimpi menjadikan anak-anaknya superkids. Dalam kehidupan sehari-hari anak-anak mereka diajak mencintai lingkungannya. Mereka juga mengajarkan merawat dan memelihara hewan atau tumbuhan yang mereka sukai. Kelompok ini merupakan kelompok penyayang binatang dan mencintai lingkungan hidup yang bersih.

5. Outward Bound Parents (ortu paranoid)

Mereka memprioritaskan pendidikan yang dapat memberi kenyamanan dan keselamatan kepada anak-anaknya. Tujuan mereka sederhana, agar anak-anaknya dapat bertahan di dunia yang penuh permusuhan. Dunia di luar keluarga mereka dianggap penuh dengan marabahaya. Jika mereka menyekolahkan anak-anaknya maka mereka lebih memilih sekolah yang nyaman dan tidak melewati tempat-tempat tawuran yang berbahaya. Kelompok ini kadang terpengaruh dan menerima konsep superkids. Mereka mengharapkan anak-anaknya menjadi anak-anak yang hebat agar dapat melindungi mereka dari segala mara bahaya. Terkadang memasukkan anak-anaknya mengikuti karate, yudo, pencak silat sejak dini untuk melatih kecakapan.
Mereka terlalu berlebihan melihat marabahaya di luar rumah tangga mereka, mudah panik dan ketakutan melihat situasi yang selalu mereka pikir akan membawa dampak buruk kepada anak-anak. Akibatnya anak-anak mereka menjadi 'steril' dari lingkungannya.

6. Prodigy Parents (ortu instant)

Merupakan kelompok orang tua yang sukses dalam karier namun tidak memiliki pendidikan yang cukup. Mereka memandang kesuksesan mereka dibidang bisnis merupakan bakat semata. Oleh karena itu mereka juga memandang sekolah dengan sebelah mata, hanya sebagai kekuatan yang akan menumpulkan kemampuan anak-anaknya. Mereka memandang anak-anak mereka akan hebat dan sukses seperti mereka tanpa memikirkan pendidikan seperti apa yang cocok diberikan kepada anak-anak mereka. Mereka mudah terpengaruh kiat-kiat atau cara-cara unik dalam mendidik anak tanpa bersekolah. Buku-buku instant dalam mendidik anak sangat mereka sukai.

7. Encounter Group Parents (ortu ngerumpi)

Merupakan kelompok orang tua yang memiliki dan senang pergaulan.
Mereka terkadang cukup berpendidikan namun tidak cukup berada atau terkadang tidak memiliki pekerjaan tetap.
Terkadang juga merupakan kelompok orang tua yang kurang bahagia dalam perkawinannya.Mereka menyukai dan sangat mementingkan nilai-nilai relationship dalam membina hubungan dengan orang lain. Mereka membuang-buang waktu dengan kelompoknya sehingga mengabaikan fungsi mereka sebagai orang tua. Mereka berharap anak-anak mereka jadi superkids. Namun banyak dari anak-anak mereka biasanya kurang menampilkan minat dan prestasi yang diharapkan.

8. Milk and Cookies Parents (ortu ideal)

Merupakan kelompok orang tua yang memiliki masa kanak-kanak yang bahagia, memiliki kehidupan masa kecil yang sehat dan manis. Mereka cenderung menjadi orang tua yang hangat dan menyayangi anak-anaknya dengan tulus. Mereka juga sangat peduli dan mengiringi tumbuh kembang anak-anak mereka dengan penuh dukungan. Mereka memenuhi rumah tangga mereka dengan buku-buku, lukisan dan musik yang disukai anak-anaknya.
Mereka berdiskusi di ruang makan, bersahabat dan menciptakan lingkungan yang menstimulasi anak-anak mereka untuk tumbuh mekar disegala potensi dirinya. Anak-anak mereka pun meninggalkan masa kanak-kanak dengan penuh kenangan indah.
Kehangatan hidup berkeluarga menumbuhkan kekuatan rasa yang sehat pada anak untuk percaya diri dan antusias dalam kelompok belajar.
Kelompok ini merupakan kelompok orang tua yang menjalankan tugasnya dengan patut kepada anak-anak mereka. Mereka begitu yakin bahwa anak-anak membutuhkan proses dan waktu untuk dapat menemukan sendiri keistimewaan yang dimilikinya.
Dengan kata lain mereka percaya bahwa anak sendirilah yang akan menemukan sendiri kekuatan di dirinya. Bagi mereka setiap anak adalah benar-benar seorang anak yang hebat dengan kekuatan potensi yang juga berbeda dan unik.

"ANAK ADALAH ANUGERAH TUHAN...SEBAGAI HADIAH KEPADA SEMESTA ALAM, TETAPI CITRA ANAK DIBENTUK OLEH SENTUHAN TANGAN-TANGAN MANUSIA DEWASA YANG BERTANGGUNG JAWAB"

Kesimpulannya aku termasuk tipe orang tua yang mana ya??
Semoga kami menjadi orang tua yang tepat dalam mendidik dan membimbing anak-anak kami ke jalan yang benar sesuai petunjuk-Mu ya Allah. Amiiinn.




Saat Anak Merekam Pembicaraan Anda



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiZmt2v_TY0w7-L-JwnfgwfTeKAtpVbu1uFK92xhjvU-6b9z7U_3rM41ZUsw0UQnHrtk56mR20NCly2WL_4Sg1vwouzqcy8oipSFiuqiwyCkbiI1gd6NHHNKvM7TtG6XO30qY4sMILBqg/s200/1530308p.jpg
Selama ini, kita sering menjaga kata-kata yang terucap ketika berhadapan dengan anak, atau saat kita sadar mereka ada di sekitar. Tetapi, tahukah Anda bahwa saat sedang menonton televisi atau membuat PR, anak-anak bisa mendengar obrolan ayah-ibunya (termasuk pertengkaran yang dilakukan sambil berbisik). Dan itu besar maknanya buat anak-anak. Rangkaian kata diserap oleh anak, dan kemudian bisa menjadi salah satu bahan pelajarannya saat berinteraksi dengan orang lain.

"Kata-kata dan gaya bahasa yang terdengar oleh anak saat orang-tua berdiskusi seputar keuangan, masalah anak dengan gurunya, bahkan debat yang panas akan menjadi gambaran ideal bagi mereka. Pola itulah yang akan mereka pakai saat dewasa nanti," kata Michael Spigarelli, MD, PhD., spesialis bidang kesehatan remaja di Cincinnate Children's Hospital Medical Center.

Anna Surti Ariani, Psi, psikolog keluarga, juga menegaskan, anak berusia 6-10 tahun punya otak bak spons, hingga menyerap apa pun, termasuk obrolan orangtua. "Dalam proses ini, anak tidak memilah obrolan yang diserap. Semuanya masuk begitu saja. Kita tidak bisa 'mengerem' mana yang boleh diingat, mana yang tidak," jelasnya.

Saat anak berusia lebih dari 10 tahun, ada filter yang menyerap kata tertentu. Tetapi, orangtua tetap tak bisa mengendalikan. Menurut Spigarelli, bila orang dewasa yang berada di sekitar anak berkomunikasi dengan santun, anak pun tumbuh jadi pribadi yang percaya diri. Penelitian menunjukkan, remaja yang percaya diri dan bisa menghargai diri, mampu mengambil keputusan yang lebih baik dan sehat. Jadi perhatikan kata-kata Anda, terutama dalam empat dialog berikut:

1. Berargumentasi dengan kepala dingin.
Sungguh wajar jika kita dipanggil ke sekolah untuk menyelesaikan masalah anak, misalnya karena sering terlambat atau kurang berpartisipasi dalam kegiatan sekolah. Di saat seperti itu, waspadai segala yang Anda ucapkan nantinya karena bisa digunakan anak sebagai model saat menghadapi atasannya ketika ia dewasa kelak. Ketika berdiskusi dengan guru seputar hukuman atau nilai yang diterima oleh anak, mulailah percakapan dengan hal-hal yang positif, seperti menceritakan bahwa anak kita antusias dalam belajar. Lalu, lanjutkan dengan pertanyaan yang berhubungan dengan inti permasalahan. Misalnya, sudah berapa kali anak terlambat masuk? Bila kritik guru yang bersifat negatif langsung didukung oleh orangtua, anak akan menganggap kritik itu sebagai serangan, dan ia tak punya tempat berlindung, jelas Anna.

2. Pertengkaran sehat.
Sesekali tidak sepakat dengan pasangan itu normal, asalkan saat bertengkar kita bisa memberi kesan bahwa kita tetap menghormati dan mencintai pasangan. Pertengkaran orangtua akan dijadikan pelajaran oleh anak tentang bagaimana berhubungan dengan teman-teman atau pacarnya. "Menyelesaikan pertengkaran dengan baik dan bijak adalah cara terbaik," jelas Anna. "Terutama jika si anak tahu bahwa ujung pertengkaran mengarah pada hal yang baik."
Jika berujung baik, anak akan belajar bahwa pertengkaran itu hal wajar dan ada habisnya. Ia juga paham bahwa pertengkaran adalah salah satu tahap memperbaiki diri, mengubah sesuatu yang buruk menjadi lebih baik. Meski demikian, Anna menganjurkan agar sebisa mungkin kita tidak bertengkar di depan anak. Bila terlanjur emosi, pastikan anak tahu bahwa akhirnya problem selesai dengan baik. Dengan demikian ia akan jadi orang dewasa yang mampu mengatasi masalahnya dengan baik.

3. Komplain yang asertif.
Saat menunggu makanan di restoran atau mengajukan keluhan seputar pelayanan, seringkali kita dibiarkan saja dalam waktu begitu lama. Akhirnya kita jadi terdorong untuk marah-marah atau mengomel. Tindakan ini tidak memberi pelajaran yang baik pada anak. Menurut Elizabeth Alderman, MD, spesialis bidang pengobatan remaja di Children's Hospital Montefiore New York, kita perlu memberi contoh pada anak bahwa kita punya standar. Jika satu hal tidak tercapai, maka akan ada konsekuensinya. Apa yang harus dilakukan?
Ajukan keluhan Anda dengan cara yang asertif, yaitu dengan tegas tanpa harus memaki-maki. Minta pertanggungjawaban atas keterlambatan pada pihak yang seharusnya menerima komplain tersebut, saran Anna. Hindari gaya yang submisif, seperti mengomel sendiri atau menceritakan keluhan pada orang lain yang tidak seharusnya menerima komplain itu.

4. Minta maaf dengan tulus.
Saat pulang kerja dalam keadaan capek dan stres, Anda mendapati rumah begitu berantakan. Anda naik darah dan menghardik anak-anak dengan keras. Memang, akhirnya mereka membereskan rumah, tetapi setelah itu suasana jadi sangat hening dan kaku. Anda sadar kalau telah bereaksi berlebihan. Pertanyaannya: haruskah Anda minta maaf karena telah bersikap demikian?
Kenapa tidak? Mendengar Anda minta maaf adalah hal yang penting bagi anak remaja. "Saat anak menyaksikan orangtua memaafkan orang lain atau minta maaf pada anaknya sendiri, ia pun belajar bahwa minta maaf adalah keterampilan sosial untuk memulihkan hal yang semula tak benar," kata Anna. Kata maaf bisa mencairkan suasana tak enak. Bila orangtua mau minta maaf pada anaknya, anak jadi lebih bisa menghargai dirinya sendiri dan orang lain. Cara minta maaf asal-asalan yang kerap kita lakukan bagi mereka sama saja seperti meremehkan arti kata maaf sendiri. Dari situ anak jadi berpikir, lebih baik tidak usah minta maaf saja! Akhirnya mereka tidak menarik pelajaran apa-apa.






Ragam Emosi Si Kecil

Artikel ini dirangkum dari tabloid anak-anak. Artikelnya lumayan panjang, jadi aku ambil intinya saja. Ada beberapa jenis emosi anak yang perlu diketahui orang tua, diantaranya adalah:

1. Takut
Rasa takut muncul karena pengalaman, ingat akan sesuatu, atau dari kebiasaan. Bisa dari acara seram di TV, atau melihat gambar yang menakutkan. Bisa juga dari kabiasaan orang tua atau orang di sekitar si kecil yang memberi pengertian yang salah. Misalnya saat ada badut, awas nanti di kamu di ajak dan di bawa pergi loh.
Reaksi anak terhadap rasa takut bermacam-macam, seperti menangis, berteriak, lari, menutup muka dan sebagainya. Seiring usia bertambah, kemampuan berfikir anak berkembang, anak akan mengerti dan sadar bahwa yang semula ditakutkan sekarang tak perlu takut lagi. Juga anak lebih bisa mengendalikan diri.

2. Cemas
Rasa cemas bila dipisahkan dari ibunya, karena anak belum terbiasa dengan lingkungan selain lingkungan rumahnya. Dengan meningkatnya kemandirian anak, ia akan siap berpisah dengan ibunya, seperti ketika memasuki usia sekolah. Faktor yang mendukung adalah lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak.

3. Marah
Di awal usia, anak mengekspresikan rasa marahnya dengan menangis, berteriak, memukul, membanting barang, atau berguling-guling di lantai. Kadang tidak peduli dilihat banyak orang. Seiring perkembangannya, anak akan lebih bisa mengendalikan marahnya dengan merajuk atau bersungut-sungut.

4. Cemburu
Rasa cemburu biasanya muncul karena kehadiran seorang adik. Karena perhatian orang tuanya sekarang terbagi buat si adik juga.

5. Iri hati
Rasa ini biasanya muncul setelah bergabung bersama teman-temannya. Misalnya pengen maianan punya teman. Karena rasa iri hati ini, maka sering terjadi anak merebut mainan punya temannya. Seiring perkembangan usia si anak, rasa iri hati ini bisa diketahui dari ungkapan si anak, misalnya pengen mainan seperti punya si A, pengen beli sepatu seperti punya si B dan sebagainya.

6. Sedih
Rasa sedih di awal-awal usia di ungkapkan dengan menangis, setelah agak besar reaksinya berbeda, bisa dengan wajah murung, ngambek, tak mau makan, dan sebagainya.

7. Gembira
Anak akan mengekspresikan perasaan gembira sebagai ungkapan dari sesuatu atau situasi yang sesuai harapan dan membuatnya senang. Ekspresinya bermacam-macam, bisa dengan tepuk tangan, tertawa, melompat-lompat kegirangan dan sebagainya. Seiring bertambahnya usia, anak akan mengekspresikannya dengan mengucapkan terima kasih, tersenyum atau mencium.

8. Sayang
Rasa sayang pada anak-anak bisa diungkapkan dengan menciumi, entah itu boneka kesayangannya atau kepada orang tuanya. Setelah tambah usia anak akan mengungkapkannya secara verbal atau lisan.




Ketika Si Kecil Mulai Bicara

Memperhatikan serta mengikuti perkembangan si kecil adalah saat yang menyenangkan. Tahu perkembangan si kecil sehari-hari dan makin hari makin pintar adalah kebanggaan tersendiri bagi orang tua.
Kadang bagi orang tua yang bekerja kalau tidak pandai-pandai mengatur waktu bersama si kecil bisa kehilangan momen yang berharga. Dan itu tak mungkin akan terulang kembali.

Saat si kecil mulai bicara, biasanya masih belum jelas. Nanti lama kelamaan akan bertambah jelas dan tambah banyak kosa kata. Sebagai orang tua harus rajin mengajari si kecil. Biasanya kalau orang di sekitar si kecil cenderung diam, si kecil akan begitu juga. Ya bagaimana mau cepat belajar bicara kalau orang di sekitarnya pasif? Lingkungan sekitar juga sangat berpengaruh bagi perkembangan si kecil. Berhati-hatilah ketika berbicara karena anak akan merekam semua apa yang di dengarnya. Si kecil akan mudah menirukan apa yang telah di dengar dari orang-orang di sekitar dia.

Sharing sedikit ketika si kecil mendapatkan kata-kata baru. Kebetulan kata tersebut adalah tidak tahu. Jadi ketika ditanya, pasti akan di jawab tidak tahu.

Ketika menyuruh membukakan laci:
"Adik mau nyari apa?"
"Tidak tahu" jawabnya sambil mencari-cari sesuatu.

Terus ketika nangis:
"Adik kenapa nangis?"
"Tidak tahu" jawabnya masih sambil nangis.

Kadang ulah si kecil membuat kita senyum-senyum, tapi ya harus sabar menghadapi si kecil. Itu yang kadang membuat kita yang sedang capai sehabis kerja atau mengurus rumah jadi hilang rasa capainya. Kalau si kecil bicara belum jelas, kadang kita susah mengerti kata apa yang dimaksud. Dan saat kita mengucapkan kata yang tidak sesuai dengan yang di maksud si kecil, maka si kecil akan terus mengucapkan kata itu sampai kita tahu apa yang di maksud. Setelah kita benar mengucapkan kata yang di maksud si kecil akan bilang "iya" plus wajah berbinar. "Akhirnya mengerti juga apa yang aku maksud," begitu mungkin pikirnya.



Tanda-tanda Anak Yang Mengalami Kelelahan

Para orang tua tentu bermaksud memberikan yang terbaik bagi putra putrinya. Kadang mengikutsertakan anak pada berbagai kegiatan ekstra dan berbagai macam les agar tidak ketinggalan dengan teman-temannya.
Berikut ini tanda-tanda anak yang mengalami kelelahan, aku ambil dari sini, moga bisa bermanfaat bagi kita semua dalam menghadapi anak-anak.

1. Jika pada dasarnya anaknya periang, tiba-tiba si anak mudah marah, mudah ngambek, atau cemberut tanpa alasan.
2. Tidurnya tidak pulas.
3. Nilai pelajarannya turun. Lihat PR-nya, apakah dikerjakan dengan baik atau tidak.
4. Nafsu makan tiba-tiba naik.
5. Mengeluh sakit perut, pusing atau yang lainnya tanpa sebab.
6. Kalau lihat tv, seakan tidak mau di ganggu.
7. Mengeluh bosan.
8. Bertengkar dengan saudaranya, cemburu dengan kakak atau adiknya.
9. Tidak mau berangkat les.

Anak yang kelelahan kadang akan mengutarakan alasan agar tidak berangkat les, misalnya. Menghindari jadwal yang seperti hari-hari biasanya. Dengan demikian, orang tua seharusnya mengatur kembali jadwalnya. Jangan sampai waktunya untuk bermain, habis dengan semua kegiatan ekstra atau berbagai macam les.
Jadwalnya yang padat malah bisa mengganggu kesehatan dan konsentrasi belajar anak. Sayang sekali bukan?







Kenapa Anak Malas Makan?

Posted in Umum | July 5th, 2011
Nah, banyak orangtua yang kurang memahami hal ini, sehingga lantaran khawatir kecukupan gizi anak tidak terpenuhi, orangtua biasanya makin keras memaksa anaknya makan. Ada orangtua yang mengancam anaknya bahkan memukul. Cara-cara tersebut harus dihindari.
Justru semakin dipaksa, anak akan makin melawan (sebagai wujud negativistiknya). Akibatnya apalagi kalau bukan penolakan terhadap makanan. Bisa dimaklumi kalau ada orang yang sampai dewasa emoh makan nasi atau sama sekali tak menyentuh daging. Bisa jadi sewaktu masih kecil yang bersangkutan sempat mengalami trauma akibat perlakuan orangtua yang selalu memberinya makan secara paksa.

Pahami kondisi anak dengan baik. Jadilah orangtua otoritatif. Artinya, bersikap tidak memaksa, tetapi juga tidak membiarkan begitu saja. Bina komunikasi yang baik dengan anak. Bersabarlah menghadapi anak. Kan rumah adalah sekolah pertama dan utama bagi anak.

Nah, berikut beberapa penyebab anak susah makan dan tips mengatasinya yang perlu bunda ketahui:
1. Bosan dengan menu dan penyajian makanan
Menu makan saat anak selepas ASI eksklusif yang itu-itu saja akan membuat anak bosan dan malas makan. Belum lagi cara penyajian makanan yang campur aduk antara lauk pauk seperti makanan diblender jadi satu. Sama dengan orang dewasa, kalau makan dengan menu sama tiap hari dan disajikan campur aduk, pasti malas makan. Untuk itu, variasikan menu makan anak.Tergantung pintar-pintarnya bunda memberikan makanan bervariasi. Kalau anak gak mau nasi, kan bisa diganti dengan roti, makaroni, pasta, bakmi, atau yang lainnya. Penyajian makanan yg menarik penting sekali. Jangan campur adukkan makanan. Pisahkan nasi dengan lauk pauknya. Hias dengan aneka warna dan bentuk. Jika perlu cetak makanan dengan cetakan kue yg lucu.
2. Memakan camilan padat kalori menjelang jam makan
Hal ini membuat anak tidak merasa lapar. Seperti permen, minuman ringan, coklat, hingga snack ber-MSG. Akibatnya, ketika jam makan tiba anak sudah kekenyangan. Atur makanan selingan jauh sebelum waktu makan tiba. Beri camilan yang sehat seperti potongan buah, sayur kukus, keju, yoghurt, es krim, cake buatan ibu, atau lainnya.
3. Minum susu terlalu banyak
Susu di banyak keluarga dianggap sebagai makanan dewa yang bisa menggantikan makanan utama seperti nasi, sayur dan lauk pauknya. Orangtua cenderung kurang sabar memberikan makanan kasar. Atau orangtua sering takut anaknya kelaparan, sehingga makanan diganti dengan susu. Akhirnya, daripada perut si anak tidak kemasukan makanan, diberikan saja susu berlebihan. Padahal setelah anak berusia satu tahun, kehadiran susu dalam menu sehari-hari bukanlah hal wajib. Secara gizi, susu hanya untuk memenuhi kebutuhan kalsium dan fosfor saja. Mulailah melatih anak dengan berbagai jenis makanan. Ubah juga pola pikir orangtua.
4. Terpengaruh kebiasaan orangtua
Anak suka meniru apa yang dilakukan oleh anggota keluarga lainnya, terutama orangtua. Banyak perilaku yang dilakukan orangtua mempengaruhi perilaku makan anak. Misalnya, anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang malas makan (diet), akan mengembangkan perilaku malas makan juga. Perhatikan dan ubah kebiasaan dan perilaku orangtua kapanpun, termasuk perilaku makan. Ingat, anak merekam, belajar, dan menerapkan semua hal yang ia dapat dari lingkungan sekitarnya, terutama orangtua. Biarkan anak mencoba memakan makanan sendiri sejak dini, tanpa disuapi.
Intinya, yang jelas dan perlu diingat baik-baik oleh tiap orangtua adalah, seberapapun anak susah makan, ia tidak akan membiarkan dirinya kelaparan selama mentalnya sehat. Artinya, begitu ia kelaparan, maka pasti ia akan makan. Jadi, tetaplah kreatif mengolah dan menyajikan makanan, bina komunikasi yang baik, terus belajar menjadi orangtua dan memahami kondisi anak.
Jadi para orangtua harus lebih bersabar yaa…dan ingat si kecil sekarang sudah mulai memahami kalau dimarahi.

Article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa komentar dan pendapat anda? Adakah saran untuk admin?

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Comment Facebook

Get This Gadget

Popular Posts

Ready 3 Data AON

Followers

hainfobadge1a