SANDI KALA
DALAM SANGU TUMPENG (Nasi Tumpeng)
by Lucky Hendrawan on Sunday, March
20, 2011 at 10:59am
Sampurasun
Bangsa Indonesia saat ini semakin
tidak memahami tata-cara, guna dan makna Sangu Tumpeng (Nasi Tumpeng)
yang seharusnya dibuat secara khusus beradasarkan aturan ketat. Itu sebabnya
kehadiran Sangu Tumpeng saat ini tidak ‘menghadirkan’ sesuatu apapun
(*kejadian yang diharapkan), sebab ia dihadirkan hanya sebagai syarat pelengkap
perayaan budaya.
Sangu Tumpeng sesungguhnya adalah kitab
ajaran masyarakat Nusantara yang diungkapkan melalui bentuk makanan.
Artinya, segala hal yang terdapat pada Sangu Tumpeng tidak lagi berupa bahasa
lisan ataupun bahasa tulisan tetapi lebih merupakan “bahasa rupa bentuk”
yang padat makna, dari cara pembuatan hingga penyajian harus dilakukan sesuai
aturan. Artinya, jika pola tahapan pembuatan dilanggar maka sama dengan
menghilangkan sebagian dari mata rantai ‘ayat-ayat’ yang berisi ajaran.
Tanda-tanda yang dilambangkan
melalui peralatan memasak merupakan “peringatan” bahwa alam (lingkung
kehidupan) harus tetap terjaga, hal ini mengingatkan kepada seluruh keturunan
agar tetap waspada karena bangsa Nusantara hidup di wilayah gunung berapi,
dalam istilah lain diumpamakan dengan BANGSA YANG MENUNGGANGI NAGA API.
Makna tanda yang terkandung pada
peralatan memasak adalah sebagai berikut; api melambangkan matahari, batu
bata merah menandakan bumi, dandang (se’eng) melambangkan gunung, air
melambangkan sumber kehidupan, haseupan atau kukusan kerucut
melambangkan kawah gunung berapi (yang terkandung), kayu bakar
melambangkan tumbuhan atau hutan, dan nasi yang ada di dalamnya
menandakan kesuburan dan kemakmuran.
Lambang pada perlengkapan Tumpeng
Pengolahan Sangu Tumpeng hanya boleh
dilakukan oleh kaum wanita dewasa yang dalam keadaan bersih (tidak
sedang menstruasi) dan telah mensucikan diri, sedangkan kaum pria bertugas
menyediakan beragam kebutuhannya. Selama tahap pembuatan, wanita tersebut tidak
boleh disentuh ataupun berbicara dengan laki-laki. Hal ini tentu saja bukan
tanpa maksud dan tanpa makna. Nilai “wanita suci” yang terkandung di
dalam tahap mengolah tumpeng menceriterakan tentang sosok Ibu Pertiwi yang
sedang menata kehidupan di bumi, khususnya mengungkapkan tentang bagaimana
ia menata dan memberikan kesuburan, kemakmuran dan kejayaan kepada seluruh
putra-putri Ibu Pertiwi (bangsa Nusantara).
Api pada
tungku dinyalakan bertepatan dengan terbitnya matahari pagi, hal ini merupakan perlambang
ungkapan rasa terima-kasih atas limpahan anugrah dari Yang Maha Kuasa dalam
mengawali kehidupan yang dipandu oleh waktu / cahaya. Melalui lambang Yang Maha
Kuasa yang ada di langit (matahari) itulah segala kehidupan di Bumi ini
digerakan; binatang, tumbuhan, manusia, dan sebagainya memulai kegiatan mereka
sesuai fungsinya masing-masing.
Setelah se’eng (dandang) diletakan
di atas tungku perapian, lalu wanita mulai menata nyiru atau tampah
berbentuk lingkaran terbuat dari anyaman bambu yang akan digunakan sebagai alas
Sangu Tumpeng. Nyiru adalah bentuk perlambangan matahari atau sering disebut
sebagai Sang Hyang Manon atau Sang Hyang Tunggal.
Nyiru sebagai lambang Matahari
(Sunda)
Bagian tepi (pinggiran) nyiru diberi
daun pisang manggala yang telah dibentuk segi-tiga lalu dirangkai dan
disambung dengan menggunakan tusuk biting terbuat dari lidi pohon kawung.
Susunan daun pisang manggala yang melingkar di sekeliling nyiru adalah
perlambang dari sinar matahari, dan arti “manggala” sendiri adalah “yang
menyampaikan hukum atau yang menguasai aturan”, sedangkan istilah kawung
menjadi perlambang dari kata “Sang Suwung” (Hyang Maha Kuasa).
Sangu Tumpeng dalam pola tanda
berupa gunung berwarna kuning merupakan lambang keagungan gunung Sunda,
mustahil membicarakan Sangu Tumpeng jika tidak membicarakan tentang Sunda
mengapa demikian? Sebab “Sunda” itu artinya adalah “Matahari”.
Maka dari itu, Sangu Tumpeng
harus ditata berdasarkan pola cahaya, segala yang diletakan di atas nyiru
/ tampah disusun berurutan mengikuti putaran nilai waktu (cahaya) yang
terbagi atas :
- Purwa, menghadap (mengarah) ke Timur
berisi bakakak ayam jantan (jenis ayam kampung).
- Daksina, menghadap ke Selatan berisi unsur unsur-unsur
pertanian dan perkebunan seperti; sayuran segar (lalab),
tomat, ketimun, dst.
- Pasima, menghadap ke Barat berisi makanan / masakan
olahan tumbuhan seperti; perkedel, sambal goreng kentang, goreng
tempe, sambal goreng terasi.
- Utara, menghadap ke Utara berisi masakan olahan
berdaging / satwa seperti; ikan mas, ikan asin, udang, teri, daging.
- Madya, letaknya di pusat atau di tengah-tengah yaitu
nasi kuning berbentuk gunung dan di puncaknya diletakan telur
ayam kampung sebagai Cupumanik Astagina (Cupumanik
Astra-Geni).
Pola susunan tersebut di atas
sesungguhnya mengajarkan dan memaparkan tentang mutu cahaya (waktu dan kala /
jaman) yang mempengaruhi kehidupan manusia, beserta tahap perkembangan
peradabannya.
Pola Arah Susunan Tumpeng
Dalam gelar “kedewaan” (nilai
cahaya / nilai waktu) kelima (5) “ruang dan waktu” (arah dan warna / cahaya)
itu disebut: Sang Hyang Siwa sebagai Madya (pusat
segala cahaya / segala warna), Sang Hyang Iswara sebagai Purwa
yang bercahaya putih, Sang Hyang Brahma sebagai Daksina
yang bercahaya merah, Sang Hyang Mahadewa sebagai Pasima
bercahaya kuning, Sang Hyang Wisnu sebagai Utara bercahaya
hitam. Jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut :
- Iswara / Purwa / Timur / Putih; merupakan
penanda pagi hari, namun sekaligus sebagai penanda awal peradaban manusia,
jaman para leluhur bangsa. Hal ini ditandai dengan keberadaan “ayam”
sebagai lambang “manusia awal kehidupan”.
- Brahma / Daksina / Selatan / Merah; merupakan
penanda siang hari, namun juga sebagai penanda jaman beradab atau masa
kejayaan (kemakmuran). Hal ini di tandai oleh benda-benda pertanian dan
perkebunan.
- Mahadewa / Pasima / Barat / *Kuning; merupakan
penanda senja hari (sore), tetapi juga sebagai penanda menurunnya masa
kejayaan atau lunturnya jaman kemakmuran. Hal ini ditandai oleh bentuk
makanan olahan yang tahan lama.
- Wisnu / Utara / Utara / Hitam; merupakan
penanda malam hari, yang juga menunjukan keruntuhan kejayaan manusia atau
kehancuran peradaban manusia untuk menyelamatkan kehidupan mahluk-mahluk
lain (non-manusia) di Bumi. Hal ini ditandai dengan masakan olahan
(hewani).
- Siwa / Madya / Pusat / Tengah; adalah penanda
penguasa waktu / era / jaman yang mengembalikan segala kehidupan di Bumi
seperti pada mulanya, jaman sebelum manusia menguasai (merusak) planet
Bumi. Penanda atas hal ini adalah dengan adanya “telur” (Cupumanik
Astagina) di puncak Sangu Tumpeng.
Melihat
segi pemaknaan pada susunan pola cahaya (kedewaan) maka boleh jadi Sangu Tumpeng diberi warna “kuning”
itu mengandung pengertian “status jaman”, bahwa kehidupan di muka
Bumi ini telah memasuki masa menurunnya kejayaan atau lunturnya era kemakmuran.
Namun akibat ketidak-pahaman masyarakat jaman sekarang terhadap pola
tanda ajaran leluhur (kebudayaan masa lalu) maka masyarakat modern beranggapan
bahwa warna “kuning” itu diumpamakan sebagai “emas” (lambang kejayaan)
padahal nilai makna tersebut kaitannya terlalu erat dengan nilai ekonomi bahkan
mungkin “kapitalisme” sedangkan Sangu Tumpeng secara mendasar lebih condong
mengarah kepada persoalan ruang, waktu dan kejadian.
Melihat situasi dan kondisi
kehidupan di muka Bumi pada saat ini maka bukan tidak mungkin jika Sangu
Tumpeng yang seharusnya dibuat di jaman sekarang adalah berwarna “hitam”
(dibuat dari beras hitam) sebagai penanda tiba masanya memasuki jaman Wisnu
/ Utara / Hitam… yaaa siapa tau…
*Tambahan :
- Sangu Tumpeng merupakan salah satu
Su-Astra Sunda (Sastra Sunda) dan boleh jadi ia-pun merupakan
perlambangan Lingga-Yoni.
by Kang Lucky
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa komentar dan pendapat anda? Adakah saran untuk admin?