Amerika sejak kemerdekaan berperan besar dalam perubahan di Indonesia.
Mediaumat-Tidak ada satu kedutaan besar negara di dunia yang tidak melakukan aktivitas intelijen di negara yang ditempatinya. Urusan penilaian terhadap kondisi negara yang menjadi wilayah kedutaan merupakan tugas wajib duta besar dan diplomat yang bersamanya.
Bagi negara yang tidak memiliki ideologi, keberadaan kedubes paling-paling hanya terbatas pada urusan kerja sama bilateral antarkedua negara di bidang politik, ekonomi, kebudayaan, dan hankam. Sifatnya pasif.
Sementara bagi negara yang memiliki ideologi, duta besar dan diplomat memiliki tugas yang jauh lebih besar dari itu. Mereka bisa memiliki agenda sendiri di luar urusan-urusan resmi terkait dengan negara di mana mereka bertugas. Mereka bisa saja bertugas menghancurkan negara sasaran termasuk memasok senjata dan sejenisnya.
Dalam hubungan diplomatik, telah menjadi konvensi internasional bahwa para diplomat memiliki kekebalan diplomatik, tidak hanya menyangkut fisik/diri diplomatnya tapi juga segala yang bersama dengan diplomat itu seperti barang, dokumen, dan sebagainya. Negara yang dituju tidak boleh memeriksa itu. Makanya, korps diplomatik dalam beberapa kasus di dunia menjadi alat kejahatan yang luar biasa.
Reformasi
Di Indonesia sendiri, peran Amerika sangat besar. Lahirnya era reformasi tak lepas dari keinginan AS setelah Soeharto tak mau lagi tunduk pada pemerintahan Washington. Berbagai jalan dilakukan untuk menjatuhkannya termasuk menggunakan LSM. Terungkap ada dana 26 juta dolar sejak 1995 kepada LSM tersebut dengan kedok mendukung HAM dan kebebasan berekspresi.
Beberapa jam sebelum Soeharto lengser, Menlu AS ketika itu Madeline Albright mengisyaratkan supaya Presiden Soeharto mundur agar krisis terpecahkan. Bersamaan dengan itu, pemerintah AS mengumumkan telah mengirimkan sebuah kapal induk Belleau Wood yang dilengkapi dengan helikopter dan pesawat-pesawat jet tempur serta dua kapal pendukung, lengkap dengan 2000 serdadu marinir ke Teluk Jakarta untuk melakukan “evakuasi militer” (Kompas, 21/5/1998).
Menurut informasi yang berkembang, ketika kerusuhan Mei 1998 meletus, ada pengacakan sinyal di Jakarta sehingga mengganggu komunikasi aparat keamanan. Dugaan kuat, pengacak sinyal itu ada di Kedubes AS di Jakarta.
Dalam temuan Wikileaks terungkap pula betapa besar peran para diplomat yang ada di Jakarta dalam menentukan kebijakan pemerintah Amerika terhadap Indonesia. Secara berkala, para diplomat di Jakarta mengirimkan pengamatannya ke Washington. Semua yang terjadi di Indonesia menjadi bahan laporan.
Sejak Indonesia Merdeka
Tidak hanya di era reformasi, jejak kejahatan Amerika telah terlihat sejak awal kemerdekaan. Aksi nyata mereka terlihat ketika Belanda ingin masuk lagi ke Indonesia pascakemerdekaan.
Masuknya AS itu untuk mematahkan penyebaran komunis di dunia. Keluarlah Truman Doctrine pada 1947, untuk mengepung komunis dan kemudian disusul Marshall Plan tahun berikutnya guna membangun kembali Eropa dari puing-puing akibat PD II. “Ketika tentara kerajaan Belanda kembali datang ke Jawa dan Sumatera pada musim semi 1946, banyak serdadu Belanda mengenakan seragam marinir AS dan mengendarai jeep Angkatan Darat AS.” (Gouda & Zaalberg: Indonesia Merdeka Karena Amerika? Politik Luar Negeri AS dan Nasionalisme Indonesia 1920-1949; 2008). Bahkan AS diyakini turut membantu Belanda dalam serangan militer Belanda II atas Yogya pada 18 Desember 1948.
Dalam rangka menjatuhkan pemerintah Soekarno, Amerika membantu pemberontakan PRRI/ PERMESTA. AS menurunkan kekuatan besar. CIA menjadikan Singapura, Filipina (Pangkalan AS Subic & Clark), Taiwan, dan Korea Selatan sebagai pos suplai dan pelatihan bagi pemberontak. Pada 7 Desember 1957, Panglima Operasi AL-AS Laksamana Arleigh Burke memerintahkan Panglima Armada ke-7 (Pacific) Laksamana Felix Stump menggerakkan kekuatan AL-AS yang berbasis di Teluk Subic untuk merapat ke Indonesia dengan kecepatan penuh tanpa boleh berhenti di mana pun. Satu divisi pasukan elit AS, US-Marine, di bawah pengawalan sejumlah kapal penjelajah dan kapal perusak disertakan dalam misi tersebut. Dalih AS, pasukan itu untuk mengamankan instalasi perusahaan minyak AS, Caltex, di Pekanbaru, Riau.
AS memberikan ribuan pucuk senjata api dan mesin, lengkap dengan amunisi dan aneka granat. Amerika juga mendrop sejumlah alat perang berat seperti meriam artileri, truk-truk pengangkut pasukan, aneka jeep, pesawat tempur dan pembom, dan sebagainya. Awalnya Amerika membantah terlibat, namun sebuah pesawat pengebom B-29 milik AS ditembak jatuh oleh sistem penangkis serangan udara Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Pilot pesawat itu Allan Lawrence Pope berhasil ditangkap hidup-hidup. Ia terbang atas perintah CIA.
Puncaknya ketika Amerika berada di balik pemberontakan G 30 S/PKI. Banyak dokumen dan literatur membongkar keterlibatan CIA-yang merangkap sebagai diplomat-di dalam peristiwa Oktober 1965 tersebut. Atas nama pembersihan kaum komunis di negeri ini, CIA turut menyumbang daftar nama kematian (The Dead List) yang berisi 5.000 nama tokoh dan kader PKI di Indonesia kepada Jenderal Soeharto. Namun yang dibunuh bukannya 5.000 orang, Kol Sarwo Edhie, Komandan RPKAD saat itu yang memimpin operasi pembersihan ini, terutama di Jawa Tengah dan Timur, menyebut angka tiga juta orang yang berhasil dihabisi, termasuk orang yang tak tahu apa-apa. Inilah tragedi kemanusiaan terbesar setelah era Hitler.
Buku “Membongkar Kegagalan CIA” karya Tim Weiner, wartawan The New York Times, mengungkap bagaimana para diplomat AS yang juga perwira CIA berhasil merekrut Adam Malik sebagai agen mereka.
Tim Weiner menulis, “CIA berusaha mengonsolidasi sebuah pemerintah bayangan, sebuah kelompok tiga serangkai yang terdiri atas Adam Malik, Sultan yang memerintah di Jawa Tengah, dan perwira tinggi angkatan darat berpangkat mayor jenderal bernama Soeharto.
“Malik memanfaatkan hubungan dengan CIA untuk mengadakan serangkaian pertemuan rahasia dengan Duta Besar Amerika yang baru di Indonesia, Marshall Green. Sang Duta Besar mengatakan bahwa dia bertemu dengan Adam Malik “di sebuah lokasi rahasia” dan mendapatkan “gambaran yang sangat jelas tentang apa yang dipikirkan Soeharto dan apa yang dipikirkan Malik serta apa yang mereka usulkan untuk dilakukan” buat membebaskan Indonesia dari komunisme melalui gerakan politik baru yang mereka pimpin, yang disebut Kap-Gestapu. [] Humaidi
Doktrin Arthur-Churchill
Pada Perang Dunia II, Jenderal McArthur dan Winston Churchill membuat doktrin yang dikenal kemudian dengan sebutan ‘Doktrin McArthur-Churchill’. Ini adalah suatu skenario penguasaan kawasan Asia-Pasifik pasca Perang Dunia II. Khusus bagi Indonesia, doktrin ini membagi Kepulauan Indonesia menjadi tiga kawasan, yakni Kawasan Malesia(Sumatera dan Kalimantan), Kawasan Melanesia (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua), dan Pusat Layanan (Jawa dan Bali).
Menurut doktrin itu, kawasan Malesia disubordinasikan ke Semenanjung Malaysia dan Daratan Asia Tenggara, menjadi ‘Great Malesian Region. Sedangkan Kawasan Melanesia disubordinasikan ke Kepulauan Philippines dan negara-negara Pacific (Australia dan sekitarnya), menjadi ‘Great Melano-Polynesian Region.’ Terakhir Pulau Jawa dan Bali yang menurut rencana akan dijadikan ajang operasi intelijen menggantikan peran strategis Singapura.
Doktrin itu menjadi acuan acuan Amerika dalam menyusun strategi menguasai Indonesia secara geostrategis maupun geopolitik. Tampaknya doktrin ini masih berlaku dan semakin terbukti dengan adanya cengkeraman Amerika yang kian kuat di Indonesia. Bisa jadi Kedubes AS di Jakarta akan menjadi pusat layanan di kawasan ASEAN dan Pasifik seperti yang direncanakan doktrin itu. (mediaumat.com, 27/7/2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa komentar dan pendapat anda? Adakah saran untuk admin?