BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Tumbuh dan berkembanhgnya Seni
Budaya pasti dimiliki oleh seluruh Bangsa di Dunia, baik itu Seni Budaya
Tradisional, Seni Musik ataupun Seni lainnya. Setiap Negara memiliki ciri khas
kesenian yang berbeda-beda, misalnya kesenian yang terdapat di wilayah
Indonesia. Di setiap daerah memiliki berbagai macam Kesenian, salah satunya di
Kabupaten Kuningan, seperti Kesenian Tradisional Cingcowong dari Luragung,
Kesenian Tradisional Sintren dari Cibingbin, dan Kesenian Tradisional
Gemyung/Terbangan dari Cibingbin. Kesenian tersebut menjadi ciri khas
tersendiri bagi daerah Kabupaten Kuningan.
Kesenian Tradisional Cingcowong dari
Luragung mempunyai ciri khas tersendiri yaitu memanggil arwah untuk menurunkan
hujan yang dimasukkan ke alat perantara seperti boneka orang-orangan sawah.
Lain halnya dengan Kesenian Sintren dari Cibingbin, pemain atau penari harus
masih suci (perawan), yang memakai kurungan ayam. Sedangkan pada Kesenian
Tradisional Gemyung/Terbangan, tokoh-tokoh yang memainkan seni Gemyung
tidak harus turun-temurun, jadi siapa
saja bisa memainkannya. Tapi kebanyakan pemainnya para laki-laki manula
(manusia lanjut usia).
Oleh karena itu, kita sebagai warga
Negara Indonesia, khususnya warga Kabupaten Kuningan harus mengetahui
kesenian-kesenian yang ada karena kesenian itu merupakan ciri khas dari daerah
Kuningan. Sebagai generasi penerus Bangsa, hendaknya kita menjaga, melestarikan,
dan munjunjung tinggi kesenian tersebut agar selalu dikenang sepanjang masa dan
tidak hilang begitu saja.
B.
Landasan
1. Kurikulum
KTSP SMA Negeri 3 Kuningan tahun
ajaran 2010-2011
2. Program
pembelajaran Semester Genap 2010-2011
3. Tugas
dari guru Mata Pelajaran Seni Budaya SMA
Negeri 3 Kuningan
4. Surat
tugas dari Kepala Sekolah SMA Negeri 3
Kuningan.
C.
Tujuan
1. Turut
serta mendukung program pemerintah dalam rangka melestarikan Seni Budaya
Tradisional khususnya di Kabupaten Kuningan
2. Meningkatkan
daya apresiasi siswa terhadap Seni Budaya Tradisional sebagai warisan leluhur
bangsa
3. Meningkatkan
dan mengembangkan wawasan bagi para siswa tentang Seni Budaya Tradisional
4. Melaksanakan
proses pembelajaran khususnyan Seni Budaya di luar kelas
5. Mengenal
kehidupan Seni Budaya dalam masyarakat secara langsung
6. Memenuhi
salah satu sistem penilaian dalam proses pembelajaran Seni Budaya di SMA Negeri
3 Kuningan
D.
Teknik
Obsevasi
1. Pengumpulan
data melalui menonton pertunjukkan
2. Melalui
wawancara dengan narasumber
3. Pengolahan
data melalui kerja kelompok
4. Penyusunan
laporan secara kelompok
5. Penyampaian
laporan
BAB II
Hasil
observasi seni tradisional kab.Kuningan
2.1
“SINTREN”
2.1.1 PENGERTIAN
Sintren adalan kesenian tari
tradisional masyarakat Jawa, khususnya di Pekalongan. Kesenian ini terkenal di
pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Barat, antara lain di Pemalang, Pekalongan,
Brebes, Banyumas, Kuningan, Cirebon, Indramayu, dan Jatibarang. Kesenian
Sintren dikenal juga dengan nama lais. Kesenian Sintren dikenal sebagai tarian dengan
aroma mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dengan
Sulandono.
2.1.2 SEJARAH
Kesenian Sintren berasal dari kisah
Sulandono sebagai putra Ki Baurekso hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari.
Raden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih seorang putri dari Desa Kalisalak,
namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Ki Baurekso, akhirnya
R. Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun
demikian pertemuan di antara keduanya masih terus berlangsung melalui alam
gaib.
Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi
Rantamsari yang memasukkan roh bidadari ke tubuh Sulasih, pada saat itu pula R.
Sulandono yang sedang bertapa dipanggil oleh roh ibunya untuk menemui Sulasih
dan terjadilah pertemuan di antara Sulasih dan R. Sulandono. Sejak saat itulah
setiap diadakan pertunjukan sintren sang penari pasti dimasuki roh bidadari
oleh pawangnya, dengan catatan bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang penari
masih dalam keadaan suci (perawan).
Karena itulah dalam pementasan
sintren penarinya selalu dimasuki roh yang dipanggil oleh orang yang berperan
sebagai pawang, dengan cara membaca mantera dan membakar kemenyan. Adapun
mantera yang dinyanyikan itu liriknya antara lain sebagai berikut :
Turun-turun sintren
Sintrene bidadari
Nemu Kembang Yun ayunan
Nemu Kembang Yun ayunan
kembange si Jaya Indra
Bidadari temurunan
Setelah roh yang dipanggil masuk,
penari menjadi kaserupan dan menari dengan gerakan asal-asalan. Ia akan terus
menari dan baru akan terjatuh ketika ada penonton yang melemparkan uang atau
pakaian ke tubuhnya. Menariknya lagi, dalam pementasa sintren juga ada
unsur-unsur sulapnya, sehingga anak-anak kecil pun banyak yang menyukai,
apalagi ditambah bodor atau pelawak yang turut menyegarkan pementasan sintren
ini.
2.1.3 SEJARAH SINTREN DI KAB. KUNINGAN
SINTREN, adalah sebutan kepada peran
utama dalam satu jenis kesenian. Tapi akhirnya sebutan itu menjadi satu nama
jenis kesenian yang disebut sintren. Sintren sendiri berasal kata sesantrian
artinya meniru santri bermain lais, debus, rudat atau ubrug dengan menggunakan
magic (ilmu ghaib).
Seni sintren ternyata tidak hanya
hidup di daerah Kabupaten Majalengka, Indramayu dan Cirebon. Tapi juga hidup di
Desa Dukuhbadag, Kecamatan Cibingbin, Kabupaten Kuningan.
Menurut, Udin Sahrudin, tokoh
sintren di Desa Dukuhbadag, munculnya seni sintren di Kuningan belum bisa
dipastikan. Sebab sampai sekarang belum ada penelitian ilmiah, tapi yang jelas
sejak tahun 1930 sudah banyak warga Desa Dukuhbadag yang mengadakan pertunjukan
seni sintren terutama pada acara pesta khitanan dan pernikahan.
“Dulu yang pertama kali menjadi
pimpinan seni sintren di Desa Dukuhbadag yakni Ibu Warjiah, tapi saya tidak
tahu pasti dari mana awal perkembangan seni sintren itu,” kata Udin Sahrudin.
Berdasarkan cerita orang tua dulu,
lanjut dia, seni sintren di Dukuhbadag dibawa oleh orang dari daerah lain yang
sengaja untuk mencari nafkah yakni sebagai Kukurung. Kukurung merupakan bahasa
dialek masyarakat Desa Dukuhbadag yang ditujukan kepada orang yang sedang
mecari nafkah dengan cara menjual jasa memanen padi.
Dia menjelaskan, mereka (kukurung)
diperkirakan datang dari daerah perbatasan Kecamatan Cibingbin Kabupaten
Kuningan dengan Kecamatan Banjarharja Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Diantaranya
saja Desa Cibendung, Cikakak, Karangjunti, Pande, Dukuhjeruk dan Desa Randegan.
Ada pula yang datang dari daerah perbatasan Kabupaten Cirebon, diantaranya Desa
Tonjong, Cilengkrang, Ciledug, Pabuaran, Cikulak dan Desa Leuweunggajah.
Kukurung-kukurung itu datang bukan
saja ke Desa Dukuhbadag, tapi ke desa lain di Kecamatan Cibingbin antara lain
Desa Bantarpanjang, Cisaat, Citenjo, Cibingbin, Cibeureum dan Desa Tarikolot,
bahkan sampai Desa Sukasari dan Tanjungkerta Kecamatan Karangkancana. (Desa
Cibeureum dan Desa Tarikolot, kini Kecamatan Cibeureum)
“Untuk melepas lelah,
kukurung-kukurug itu mengadakan pertunjukan seni sintren, di halaman rumah
warga tanpa mendapat upah dari pemilik rumah, kecuali jamuan
alakadarnya,”imbuhnya.
Dikatakan, pertunjukan sintren tidak
selamanya memerlukan panggung, mereka bermain di halaman rumah beralaskan
tikar, para penabuh gamelan dan juru kawih sambil duduk, sedangkan sintren
menari sambil berdiri lemah gemulai mengikuti irama gamelan.
“Konon kabarnya, anak yang sudah
dijadikan sintren harus mengalami 21 kali pentas, lebih sempurna 40 kali
pertunjukan. Hal ini dipercaya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan
bagi pribadi sintrennya. Setelah 40 hari biasanya rombongan seni tersebut
mengadakan hajatan selamatan agar dijauhkan dari mara bahaya,” paparnya.
2.1.4 TOKOH-TOKOH
Jumlah
pemain: 14 orang
Penari : 1 orang
Pemimpin : Syahrudin (32 tahun)
Anggota :
2)
Ibu Darpi (almh) di Desa Cibingbin
pada tahun 1935
3)
Nini Bedol di Desa Citenjo pada
tahun 1947
4)
Ibu Waluh di Desa Dukuh Badag pada
tahun 1973
5)
Bapak Jatmadi di Desa Cisaat pda
tahun 1942
6)
Ibu Unti di Desa Dukuh Badag pada
tahun 1944, ia merintis bersama bapak Arta di kampung Curug
7)
Bapak Subagyo di Desa Dukuh badag
pada tahun 1979
2.1.5 ALAT MUSIK
1)
Kendang
2)
buyung 2. Kecil dan besar
3)
Goong lodong
4)
Suling bambu
5)
Rebana
6)
Kecrek
2.1.6 PERALATAN LAIN
1)
Kurung ayam
2)
Payung
3)
Pedang
4)
Ruas bambu yang tidak sama 4 buah
5)
Tali tambang
6)
Tikar
7)
Kain penutup kurung
8)
Kaca mata
9)
Selendang
10) Mahkota kulit kidang
11) Baju
12) Speaker
2.1.7 LAGU - LAGUNYA
Lagu – lagunya berbahasa
Jawa..
Diantaranya:
ü Sebelum
dimulai, para juru kawih memulai melantunkan lagu-lagu yang
dimaksudkan untuk mengundang penonton.
dimaksudkan untuk mengundang penonton.
Tambak tambak pawon
Isie dandang kukusan
Ari kebul-kebul wong nontone pada
kumpul.
ü Begitu
penonton sudah banyak, juru kawih mulai melantunkan syair “Kembang trate”:
Dituku disebrang
kana
Kartini dirante
Kang rante aran
mang rana
ü Asap
kemenyan terus mengepul, begitu juga juru kawih terus berulang-ulang nembang:
Gulung gulung kasa
Ana sintren masih
turu
Wong nontone
buru-buru
Ana sintren masih
baru
Lagu
– lagu lainnya:
·
Kembang balimbing
·
Kindung
·
Turun sintren
·
Prit gulawung
·
Turun tikukur
·
Kadipaten
·
Bari lais
·
Bayem etur
·
Widadari nger-nger
·
Kembang jengkol
2.1.8 BENTUK
PERTUNJUKANNYA
Sintren diperankan seorang gadis yang masih suci,
dibantu oleh pawang dengan diiringi gending 6 orang. Dalam perkembangannya tari
sintren sebagai hiburan budaya, kemudian dilengkapi dengan penari pendamping
dan bodor (lawak).
Dalam permainan kesenian rakyat pun
Dewi Lanjar berpengaruh antara lain dalam permainan Sintren, si pawang (dalang)
sering mengundang Roh Dewi Lanjar untuk masuk ke dalam permainan Sintren. Bila,
roh Dewi Lanjar berhasil diundang, maka penari Sintren akan terlihat lebih
cantik dan membawakan tarian lebih lincah dan mempesona. menurut beberapa
catatan, kesenian sintren yang berbau mistis ini konon dulunya cuma berupa
permainan di kalangan anak-anak dan istri nelayan, dan belum terbentuk sebuah
kesenian, permainan ini dimainkan sembari menanti sang suami pulang dari
melaut.
Adapula pendapat lain yang
mengatakan, permainan tersebut sebelumnya tidak meiliki nama, namun karena
banyak yang menggemari, permainan ini pun sering dipentaskan keliling kampung.
Pada saat itulah dalam permainan tersebut mulai disisipkan beberapa alat musik
dari yang tradisional sampai modern seperti gitar, maka saat itulah permainan
ini dinamakan " Sintren "
Sintren tergolong kesenian yang unik
dan berbau mistik. Selain pemainnya harus gadis /perawan yang masih suci belum
belum tersentuh lawan jenis, dalam kesenian ini juga ada ritual yang yang
ditandai dengan bakar kemenyan, dan pembacaan mantera-mantera.
Karena keunikan itulan sintren dulu
pernah menjadi kesenian yang populer di kalangan masyarakat pantura.
Namun seiring kemajuan jaman,
kesenian sintren ini nyaris tinggal kenangan. Sebagaimana Tarling dan kesenian
tradisional lainnya, karena sudah terdesak oleh kesenian modern lainnya.
2.2 CINGCOWONG
2.2.1 PENGERTIAN
Pada
saat kemarau panjang para petani kekurangan air dan mengadakan upacara ritual
memohon untuk di turunkan hujan degan bentuk media yang di sebut
cingcowong. Cingcowong kesenian asli Kuningan yang berasal dari Luragung landeuh
blok wage. Cingcowong yaitu
orang-orangan . Kalimat cingcowong dari pelangi (katumbiri). Diciptakan oleh
Aki Nata pada tahun 60-an dan di turunkan kepada anaknya yaitu ibu Nawita.
Cingcowong harus di pakai secara turun
temurun tidak bisa di mainkan oleh
oranglain. Yang masuk dalam cingcowong yaitu arwah anak perawan.
2.2.2 PERKEMBANGAN CINGCOWONG
Untuk melestarikan
seni cingcowong Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan mencoba
membuat satu tarian Cingcowong dan tarian ini merupakan salah satu usaha agar
tidak menjadi punah pada pertunjukanya yaitu Cingcowong tidak lagi sebagai seni
ritual tetapi sudah dikembangkan dan diangkat menjadi seni pertunjukan yang
disesuaikan dengan perkembangan jaman sampai sekarang seni tari Cingcowong berkembang
dan sering ditampilkan pada acara-acara serimonial baik kebutuhan menyambut
tamu Pemerintah dan acara hiburan lainya.
2.2.3 TOKOH-TOKOH
CINGCOWONG
CINGCOWONG
INI DIMAINKAN OLEH
1. Satu orang (Pemandu upacara )
2. 2 orang pemegang sampur ketika digerakan (gerakan mirip jaelangkung )
3. 2 orang pemain/penabuh buyung yang dipukul pleh kipas/hihid dan satu orangnya lagi memainkan alat musik ceneng yang terbuat dari bahan kuningan property pendukung lainya yaitu :
Berupa sesajen seperti menyan,kaca,sisir,ember.
2. 2 orang pemegang sampur ketika digerakan (gerakan mirip jaelangkung )
3. 2 orang pemain/penabuh buyung yang dipukul pleh kipas/hihid dan satu orangnya lagi memainkan alat musik ceneng yang terbuat dari bahan kuningan property pendukung lainya yaitu :
Berupa sesajen seperti menyan,kaca,sisir,ember.
Di pimpin oleh bapak
Tatang M.S
Pemainnya,
yaitu :
1.
Ibu Nawita
berumur 71 tahun
2.
Ibu Wasri
berumur 60 tahun
3.
Ibu Hj. Siti
berumur 60 tahun
4.
Ibu Inah berumur
45 tahun
5.
Ibu Nining berumur 33 tahun
2.2.4 ALAT
MUSIK CINGCOWONG
·
Kokor
·
Buyuh taneuh
·
Gendang
·
Kempul
·
Buyung
2.2.5 ALAT-ALAT
PENDUKUNG DI LUAR ALAT MUSIK
·
Tikar
·
Kipas/Hihid
·
Sisir
·
Tangga
2.2.6 BAHAN-BAHAN YANG DI GUNAKAN CINGCOWONG
·
Bunga samboja ,
untuk d simpan d leher boneka cingcowong
·
Batok kelapa,
untuk kepala boneka cingcowong
·
Kain kuning,
cingcowong harus selalu memakai kain kuning karena kalau tidak memakai kain
kuning arwahnya tidak masuk
·
Ikat pinggang
warna putih
·
Raganya dari
bamboo
·
Bubu
2.2.7 SYAIR
LAGU CINGCOWONG
Cingcowong…
Cingcowong…
Biluna
bilembayu
Syila
syila lembut
Langgute
anggedani
Aya
panganten anyar
Lie…
lie… lie… pring
Denok
sintering ngalilirong
Mas
berojogedog
Pajuloh
juloh
Temu
miring manaliko
Lie…
lie… lir guling
Gulingna
sukmakaton
Gelang…
gelang langlayoni
Langlayoni
putra mauku
Mangundang
dewa aning dewa
Aning
sukma bidadari lagi teka
Rujak
rujak banting
Kamu
jungjang kamuloko
2.3. GEMYUNG/TERBANGAN
2.3.1 Pengertian Kesenian Gemyung/Terbangan
Gemyung
atau dikenal sebagai “Terbangan” adalah salah satu Kesenian Tradisional yang
hidup dan berkembang di Kabupaten Kuningan. Gemyung juga merupakan salah satu peninggalan budaya Islam
di Cirebon, dimana Gemyung ini pengembangan dari kesenian Terbang yang hidup di
lingkungan pesantren. Kesenian ini bernafaskan Islam karena
pada setiap penampilannya, para pemain melantunkan salawat-salawat Nabi.
Iramanya mirip kelompok paduan suara, dengan intonasi yang teratur. Terkadang
intonasinya tinggi lalu merendah. Begitulah seterusnya silih berganti, dan
tiba-tiba berhenti mendadak. Para pemain sudah tertatih menghayati dan
mendalami seni ini.
2.3.2 Riwayat Asal dan Wilayah Perkembangan Kesenian Gemyung/Terbangan
Menurut riwayatnya, seni Gemyung ini
mulanya dipakai sebagai alat para wali dalam menyebarluaskan agama Islam
khususnya di daerah Jawa Barat, dan umumnya di Pulau Jawa, yang mula-mulanya
gemyung berasal dari Cirebon. Maka tidaklah heran jika seni Gemyung ini dikenal
sebagai “kesenian para wali“. Dikenal sebagai “kesenian para wali”
karena yang mengawali dan memperkenalkan seni Gemyung adalah para wali sendiri.
Pada
zaman dulu seni Gemyung memang digunakan para wali sebagai alat untuk
menyebarluaskan agama Islam. Awalnya seni Gemyung berkembang di Cirebon,
kemudian meluas ke Kabupaten Kuningan sekitar abad ke-15. Pada tahun 1996, seni
Gemyung dirintis oleh pemuda Kuningan melalui “Festival Seni Gemyung” yang
digelar di gedung pendopo, dalam rangka Hari Jadi Kuningan, diikuti oleh
sekitar 30 grup. Seni Gemyung ini terdapat hampir di semua kecamatan yang ada
di Kuningan antara lain, pertamanya di Cibingbin Desa Duku Badag pada tahun
1936, di Garawangi, Kadugede, Jalaksana, Cilimus, Luragung, Desa Purwasari,
Timbang dan sejumlah pedesaan di Kecamatan. Kesenian ini terdapat pula Indramayu,
Majalengka, dan daerah lain, khususnya di Jawa Barat.
Kesenian
Gemyung ini biasa dipertunjukkan pada upacara-upacara kegiatan agama Islam
seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad S.A.W, Rajaban dan Kegiatan 1 Syuro
yang digelar di sekitar tempat ibadah.
Setelah
berkembang menjadi Gemyung, tidak hanya dipertunjukkan di lingkungan pesantren
atau tempat-tempat ibadah agama Islam, tetapi dipertunjukkan juga di lingkungan
masyarakat luas. Bahkan frekuensi pertunjukannya cenderung lebih banyak di
lingkungan masyarakat.
Demikian juga tidak hanya dipertunjukkan dalam acara-acara keagamaan (Islam),
tetapi dalam acara Kelahiran Bayi (Puput Puseur Bayi) dengan didukung
penampilan kostum “gaya Arab” setiap pemainnya mengenakan sorban sambil
melantunkan salawat-salawat nabi, di acara Khitanan, Peringatan Hari-hari Besar
Nasional, Peringatan Perkawinan dan Upacara Siklus Alam seperti Ngaruat Bumi,
Minta Hujan, Mapag Dewi Sri, dsb.
Pada perkembangan lebih lanjut, seni
Gemyung tidak hanya sebagai seni Auditif, tapi sudah menjadi seni pertunjukan
yang melibatkan unsur seni lain seperti seni tari jaipong dan seni tari
tarling.
Kehidupan seni Gemyung sempat
mengalami “Senin-Kemis” dan nyaris punah, jika saja tidak ada pengkaderan atau
generasi penerus yeng mau menerima tongkat estafet, untuk menjaga dan
memelihara seni Gemyung peninggalan nenek moyang kita.
Dalam upaya ke arah itu, sudah
sewajibnya pihak Depdiknas maupun Dinas Pariwisata (Diparda) kabupaten Kuningan
menaruh perhatian dan berusaha mengadakan peremajaan pemain, karena selama ini
yang tampil umumnya para manula (manusia lanjut usia).
Kalangan pemuda dan pelajar yang
berminat di daerah pedesaan perlu diberi kesempatan mempelajari sekaligus
menekuni seni Gemyung di bawah bimbingan para seniornya. Sebagai tindak lanjutnya
perlu diadakan pembinaan secara terus-menerusdan terarah, dengan sasaran sampai
kapan pun Kuningan memiliki generasi penerus di bidang seni Gemyung.
2.3.3 Bentuk Pertunjukan Kesenian Gemyung/Terbangan
Pementasan seni Gemyung dibagi 2
tahap, yaitu :
1)
Diawali pembukaan tanpa diiringi musik, dengan membacakan basmallah dan surat Al-Fatihan/Do’a,
2) Diiringi
tabuhan oleh alat musik sambil melantunkan salawat-salawat Nabi.
Pementasan
seni Gemyung terkadang bisa semalam suntuk, dengan menampilkan 20 jenis pupuh.
Sementara pada acara Khitanan Anak fungsinya sebagai media hiburan seraya
menunggu terbitnya matahari menjelang pelaksanaan acara Khitanan oleh dukun
sunat.
2.3.4 Tokoh-tokoh dalam Kesenian Gemyung/Terbangan
Pemain seni Gemyung berusia 50-85
tahun, para pemainnya laki-laki lanjut usia tidak perlu turunan, jadi siapa
saja boleh memainkan seni Gemyung ini. Tokoh-tokohnya yaitu :
ü Bapak
Johani (85 tahun)
ü Bapak
Torip (85 tahun)
ü Bapak
Wandi (56 tahun)
ü Bapak
Jurhatin (50 tahun)
ü Bapak
Johana (57 tahun)
ü
2.3.5 Alat musik yang digunakan dalam Gemyung/Terbangan
Genjring
kempring (ukuran paling kecil),
Genjring kempul
(ukuran agak besar)
Genjring goong
(ukuran paling besar)
Gendang
Kecrek (bila
perlu)
Dalam
perkembangan saat ini, seni Gemyung ditambah peralatan Gendang dan Goong untuk
kombinasi irama musik dengan salawat nabi
2.3.6 Jenis Lagu dalam Gemyung/Terbangan
Salawat-salawat
Nabi, diantaranya :
v Assalamualaikum
v Mussahri
v As-solatu
Alannabi
v Basmallah
v Salawat
Badar
v Salawat
Nariyyah
v Dan
ayat-ayat lainnya
BAB III
3. KESIMPULAN
Setelah penulis melakukan observasi
dan mencari, mempelajari, serta menganalisis sumber-sumber informasi dari
materi seni budayaSeni tradisional terutama yang berada di lingkungan Kab.
Kuningan.
Maka penulis menyimpulkan bahwa:
1. Berbagai
macam seni budaya yang berada di kab kuningan ternyata memiliki ciri khasnya
tersendiri yang merupakan warisan dari leluhurnya masing- masing.
2. Merupakan
sebuah kebanggan bagi warga kab. Kuningan karena dengan banyaknya seni budaya
yang di miliki maka akan menjadikan di Kab Kuningan kota yang kaya akan
kebudayaan.
3. Seni
budaya tradisional merupakan satu kesempurnaan bangsa
yang dapat mencerdaskan bangsa, khususnya warga Kab. Kuningan.
4. Seni
budaya tradisional dapat di jadikan symbol bagi suatu daerah.
5. Seni
budaya yang berada yang berada di wilayah Kab.Kuningan ternyata banyak sekali
macamnya.
SARAN:
Penulis
berharap dan menyarankan kepada:
1. Pihak
pemerintah daerah atau PEMDA Kab. Kuningan untuk selalu tanggap dalam
pemeliharaan dan perkembangkan seni budaya yang terdapat di kab.Kuningan
2. Perilaku
perilaku seni budaya yang masaih berada di wilayah kab.Kuningan untuk lebih
sering mensosialisasikan hasil kebudayaannya, agar warga Kuningan lebih sering
mengenal kesenian tersebut.
3. Lembaga
sekolah agar memberikan pengajaran tentang pengembangan kesenian budaya
tradisional
4. Lembaga
dinas pariwisata dan kebudayaan atau DISPARBUD agar lebih menambah situs seni
budayadalam fasilitas internet.
5. Pihak
generasi muda atau penerus untuk lebih memeperhatikan kesenian budaya
tradisiaonal terutama yang berada di lingkungan sekitar agar tidak lapuk di
makan zaman.
Pesan Dan Kesan
Pesan :
Kepada guru mata pelajaran seni
budaya di SMA Negeri 3 Kuningan jangan berhenti untuk terus melanjutkan
pembelajaran seperti ini.
Semoga dengan adanya tugas apresiasi
dan observasi ini maka sekolah-sekolah lain pun mengikuti jejak SMA Negeri
3Kuningan sehingga para pelajar/masyarakat Kuningan dapat mengetahui kebudayaan-kebudayaan
yang ada di Kuningan.
Kesan :
Kesan penulis terhadap tugas yang di
berikan oleh guru mata pelajaran seni budaya di SMA Negeri 3 Kuningan sangat
bagus karena tugas apresiasi dan observasi ini baru pertama kali di lakukan
oleh penulis.
Daftar pustaka
ü Tatang,
2011. Kesenian Tradisional Cingcowong. Kuningan.
ü Syahrudin,
2011. Kesenian Tradisional Sintren. Kuningan.
ü Wandi, 2011 Kesenian Tradisional Gembyung. Kuningan
ü file:///C:/Users/user/Documents/dokumen%20internet/sintren-seni-tradisional-yang-makin.html (SINTREN)
ü mazjoe.blogdetik.com (CINGCOWONG)
ü gaurabadi.blogspot.com (GEMYUNG)
ü BAB VI Tradisi
dan Budaya Kuningan, 2009. Kuningan
Menembus Waktu. Kuningan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa komentar dan pendapat anda? Adakah saran untuk admin?