Kedudukan Wanita Dalam Islam
Berikut ini adalah jawaban dari pertanyaan yang terdapat dalam
majalah Al-Jail di Riyadh (Arab Saudi) tentang kedudukan wanita dalam
Islam yang disampaikan oleh Syaikh Ibnu Baz.
***
Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam
semoga tercurah kepada Nabi dan Rasul yang paling mulia, kepada
keluarganya, sahabatnya, serta kepada siapa saja yang meniti jalannya
sampai hari pembalasan.
Sesungguhnya wanita muslimah memiliki kedudukan yang tinggi dalam
Islam dan pengaruh yang besar dalam kehidupan setiap muslim. Dia akan
menjadi madrasah pertama dalam membangun masyarakat yang shalih, tatkala
dia berjalan di atas petunjuk Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Karena
berpegang dengan keduanya akan menjauhkan setiap muslim dan muslimah
dari kesesatan dalam segala hal.
Kesesatan dan penyimpangan umat
tidaklah terjadi melainkan karena jauhnya mereka dari petunjuk Allah dan
dari ajaran yang dibawa oleh para nabi dan rasul-Nya. Rasulullah
bersabda, “Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, di mana kalian tidak
akan tersesat selama berpegang dengan keduanya, yaitu Kitab Allah dan
sunnahku.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa’ kitab
Al-Qadar III)
Sungguh telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an betapa pentingnya peran
wanita, baik sebagai ibu, istri, saudara perempuan, mapun sebagai anak.
Demikian pula yang berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya.
Adanya hal-hal tersebut juga telah dijelaskan dalam sunnah Rasul.
Peran wanita dikatakan penting karena banyak beban-beban berat yang
harus dihadapinya, bahkan beban-beban yang semestinya dipikul oleh pria.
Oleh karena itu, menjadi kewajiban bagi kita untuk berterima kasih
kepada ibu, berbakti kepadanya, dan santun dalam bersikap kepadanya.
Kedudukan ibu terhadap anak-anaknya lebih didahulukan daripada kedudukan
ayah. Ini disebutkan dalam firman Allah,
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada
ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah
kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Ku lah kamu
akan kembali.” (QS. Luqman: 14)
Begitu pula dalam firman-Nya, “Kami perintahkan kepada manusia supaya
berbuat baik kepada ibu bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dengan
susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung dan
menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (QS. Al-Ahqaf: 15)
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pernah ada seorang laki-laki
datang kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, siapa orang
yang paling berhak bagi aku untuk berlaku bajik kepadanya?” Nabi
menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia
siapa?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian
setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi,
“Kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ayahmu.” (HR. Bukhari,
Kitab al-Adab no. 5971 juga Muslim, Kitab al-Birr wa ash-Shilah no.
2548)
Dari hadits di atas, hendaknya besarnya bakti kita kepada ibu tiga
kali lipat bakti kita kepada ayah. Kemudian, kedudukan isteri dan
pengaruhnya terhadap ketenangan jiwa seseorang (suami) telah dijelaskan
dalam Al-Qur’an.
Allah berfirman,
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri,
supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan menjadikan
rasa kasih dan sayang di antara kalian.” (QS. Ar-Rum: 21)
Al-Hafizh Ibnu Katsir -semoga Alah merahmatinya- menjelaskan
pengertian firman Allah: “mawaddah wa rahmah” bahwa mawaddah adalah rasa
cinta, dan rahmah adalah rasa kasih sayang.
Seorang pria menjadikan seorang wanita sebagai istrinya bisa karena
cintanya kepada wanita tersebut atau karena kasih sayangnya kepada
wanita itu, yang selanjutnya dari cinta dan kasih sayang tersebut
keduanya mendapatkan anak.
Sungguh, kita bisa melihat teladan yang baik dalam masalah ini dari
Khadijah, isteri Rasulullah, yang telah memberikan andil besar dalam
menenangkan rasa takut Rasulullah ketika beliau didatangi malaikat
Jibril membawa wahyu yang pertama kalinya di goa Hira’. Nabi pulang ke
rumah dengan gemetar dan hampir pingsan, lalu berkata kepada Khadijah,
“Selimuti aku, selimuti aku! Sungguh aku khawatir dengan diriku.” Demi
melihat Nabi yang demikian itu, Khadijah berkata kepada beliau,
“Tenanglah. Sungguh, demi Allah, sekali-kali Dia tidak akan menghinakan
dirimu. Engkau adalah orang yang senantiasa menyambung tali silaturahim,
senantiasa berkata jujur, tahan dengan penderitaan, mengerjakan apa
yang belum pernah dilakukan orang lain, menolong yang lemah dan membela
kebenaran.” (HR. Bukhari, Kitab Bad’ al-Wahyi no. 3, dan Muslim, Kitab
al-Iman no. 160)
Kita juga tentu tidak lupa dengan peran ‘Aisyah. Banyak para sahabat,
baik yang laki-laki maupun yang perempuan, menerima hadits darinya
berkenaan dengan hukum-hukum agama.
Kita juga tentu mengetahui sebuah kisah yang terjadi belum lama ini
berkenaan dengan istri Imam Muhammad bin Su’ud, raja pertama kerajaan
Arab Saudi. Kita mengetahui bahwa isteri beliau menasehati suaminya yang
seorang raja itu untuk menerima dakwah Imam al-Mujaddid Muhammad bin
Abdul Wahhab. Sungguh, nasehat isteri sang raja itu benar-benar membawa
pengaruh besar hingga membuahkan kesepakatan antara Imam al-Mujaddid
Muhammad bin Abdul Wahhab dengan Imam Muhammad bin Su’ud untuk
menggerakkan dakwah. Dan -alhamdulillah— kita bisa merasakan hasil dari
nasehat istri raja itu hingga hari ini, hal mana aqidah merasuk dalam
diri anak-anak negeri ini. Dan tidak bisa dipungkiri pula bahwa ibuku
sendiri memiliki peran dan andil yang besar dalam memberikan dorongan
dan bantuan terhadap keberhasilan pendidikanku. Semoga Allah melipat
gandakan pahala untuknya dan semoga Allah membalas kebaikannya kepadaku
tersebut dengan balasan yang terbaik.
Tidak diragukan bahwa rumah yang penuh dengan rasa cinta, kasih dan
sayang, serta pendidikan yang islami akan berpengaruh terhadap kehidupan
seseorang. Dengan izin Allah seseorang yang hidup dalam lingkungan
rumah seperti itu akan senantiasa mendapatkan taufik dari Allah dalam
setiap urusannya, sukses dalam pekerjaan yang ditempuhnya, baik dalam
menuntut ilmu, perdagangan, pertanian atau pekerjaan-pekerjaan lain.
Kepada Allah-lah aku memohon semoga Dia memberi taufik-Nya kepada
kita semua sehingga dapat melakukan apa yang Dia cintai dan Dia ridhai.
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad,
keluarganya dan sahabat-sahabatnya. (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Baz
III/348)
Tidak Suka Dengan Kelahiran Anak Wanita Termasuk Perilaku Jahiliyah
Tanya: Pada zaman ini, kita sering mendengar perkara-perkara yang
biasa menjadi bahan perdebatan orang karena ganjilnya. Di antaranya
mungkin kita pernah mendengar sebagian orang mengatakan, “Kami tidak
suka menggauli istri kami jika yang lahir adalah anak perempuan.”
Sebagian lagi mengatakan kepada istrinya, “Demi Allah, jika engkau
melahirkan anak perempuan, saya akan menceraikanmu.” -Kita berlepas diri
dari orang-orang seperti itu-. Sebagian dari wanita ada yang
mendapatkan perlakuan semacam itu dari suaminya. Mereka merasa gelisah
dengan perkataan suaminya yang seperti itu. Bagaimana dan apa yang mesti
mereka perbuat terhadap perkataan suami seperti itu? Apa nasehat Syaikh
dalam masalah ini?
Jawab: Saya yakin apa yang dikatakan saudara penanya adalah sesuatu
yang sangat jarang terjadi. Saya tidak habis pikir, bagaimana ada
seorang suami yang kebodohannya sampai pada taraf seperti itu;
mengultimatum akan menceraikan isterinya jika anak yang dilahirkannya
anak perempuan. Lain masalahnya, kalau sebenarnya dia sudah tidak suka
dengan isterinya, kemudian ingin menceraikannya dan menjadikan masalah
ini sebagai alasan agar dapat menceraikannya. Jika ini masalah yang
sebenarnya; dia sudah tidak bisa bersabar lagi untuk hidup bersama
isterinya, dan telah berusaha untuk tetap hidup berdampingan dengannya
akan tetapi tidak berhasil; jika ini masalah yang sebenarnya, hendaknya
dia mencerai istrinya dengan cara yang jelas, bukan dengan alasan
seperti itu.
Karena perceraian dibolehkan asalkan dengan dengan alasan yang
syar’i. Akan tetapi, meskipun demikian, kami menasehatkan kepada para
suami yang mendapatkan hal-hal yang tidak disukai pada diri isterinya
agar bersabar, sebagaimana yang difirmankan Allah, “Kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka (isteri-isteri kamu), (maka bersabarlah) karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa’: 19)
Adapun membenci anak perempuan, tidak diragukan bahwa itu merupakan
perilaku jahiliyah, dan di dalamnya terkandung sikap tasakhuth (tidak
menerima) terhadap apa yang telah menjadi ketetapan dan takdir Allah.
Manusia tidak tahu, mungkin saja anak-anak perempuan yang dimilikinya
akan lebih baik baginya daripada mempunyai banyak anak laki-laki. Berapa
banyak anak-anak perempuan justru menjadi berkah bagi ayahnya baik
semasa hidupnya maupun setelah matinya. Dan berapa banyak anak-anak
lelaki justru menjadi bala dan bencana bagi ayahnya semasa hidupnya dan
tidak memberi manfaaat sedikit pun setelah matinya.
Rujukan:
Fatawa Ulama al-Balad al-Haram hal. 519.
Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Baz (III/348).
sumber : alumnistiba-mks.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa komentar dan pendapat anda? Adakah saran untuk admin?